Tasikmalaya – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi gizi pelajar justru meninggalkan persoalan serius. Dari distribusi yang timpang, pekerja yang terpinggirkan, hingga kasus keracunan massal, program bernilai Rp71 triliun pada 2025 ini dipertanyakan efektivitasnya.
Ketimpangan Distribusi di Sekolah
Sejumlah mahasiswa melaporkan adanya ketidakadilan dalam distribusi program MBG. Beberapa sekolah mendapat jatah penuh, sementara lainnya terbengkalai.
“Ya, ada sekolah yang mendapat bagian penuh, ada yang terbengkalai, bahkan ada yang menerima makanan dengan kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai standar. Hal ini jelas menyalahi prinsip keadilan dan merusak tujuan utama program,” kata Ardiana Nugraha selaku Ketua PMII Kota Tasikmalaya, Kamis, (26/9/2025).
Keluhan serupa juga datang dari orang tua siswa yang menilai menu MBG tidak sesuai standar gizi, bahkan kerap basi sebelum dikonsumsi.
Tasikmalaya Jadi Sorotan
Tasikmalaya menjadi salah satu titik paling parah dalam kasus keracunan massal akibat MBG. Data dari Perupadata mencatat, pada 30 April 2025, sekitar 400 pelajar di Kecamatan Rajapolah mengalami keracunan usai menyantap makanan MBG. Ratusan siswa dilarikan ke puskesmas dengan gejala muntah, mual, dan pusing.
Kasus itu dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan dapur MBG Rajapolah sempat dihentikan sementara. Namun, kejadian serupa berulang di daerah lain.
Secara nasional, dalam kurun 8 bulan program berjalan, tercatat lebih dari 4.000 siswa keracunan MBG di berbagai daerah, termasuk Cianjur (78 siswa), Bandung (342), Bogor (223), Sragen (365), Lebong (467), hingga Situbondo (232).
Suara Keras Mahasiswa
Kondisi ini memantik kritik tajam dari mahasiswa. Mereka menilai MBG justru menjadi potret kegagalan pemerintah.
“Bagi PMII, persoalan MBG ini adalah potret kegagalan pemerintah dalam mengelola program rakyat. Alih-alih berpihak pada masyarakat, justru menjadi ladang proyek segelintir orang,” tegas Ardiana.
Selain itu, isu perburuhan juga menyeruak, banyak pekerja dapur MBG menerima upah rendah tanpa kepastian kerja.
“Perlakuan semacam ini adalah bentuk ketidakadilan dan pelecehan terhadap pekerja kecil,” jelasnya.
Desakan Evaluasi Total
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai program MBG sebaiknya dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh.
“Kami menilai bahwa program MBG ini harus dihentikan sementara, untuk adanya evaluasi total pelaksanaan program MBG di seluruh Indonesia. Karena korban sudah banyak yang berjatuhan,” kata Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Izzudin Al Farras, dikutip dari liputan6.com
Ia mengingatkan agar rencana ekspansi MBG pada RAPBN 2026 senilai Rp335 triliun tidak gegabah, sebelum ada perbaikan sistem pengawasan dan distribusi.
Alarm dari Tasikmalaya
Kasus di Tasikmalaya menunjukkan bahwa MBG tidak sekadar masalah teknis, tetapi juga menyangkut tata kelola, akuntabilitas, dan keberpihakan pemerintah pada rakyat.
Suara mahasiswa yang lantang menyoroti ketidakadilan distribusi, rendahnya kualitas makanan, hingga eksploitasi pekerja, menjadi alarm keras bahwa program sebesar MBG tidak boleh dikelola secara serampangan.
Tanpa perbaikan mendasar, program yang di atas kertas tampak bergizi ini akan terus menjadi masalah di lapangan, dengan siswa dan rakyat kecil sebagai korbannya.






