Krisis Empati di Era Digital: Kenapa Kita Makin Cuek dan Bagaimana Solusinya

Sabtu, 22 Maret 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di Era digital  krisis empati menjadi sebuah tantangan tersendiri (Foto: Presfoto/Freepik)

i

Di Era digital krisis empati menjadi sebuah tantangan tersendiri (Foto: Presfoto/Freepik)

Di era digital ini, kita bisa terhubung dengan siapa saja dalam hitungan detik. Tapi, ironisnya, semakin terkoneksi secara teknologi, kita malah semakin kehilangan koneksi emosional. Fenomena ini dikenal sebagai krisis empati, di mana banyak orang jadi lebih cuek, gampang nge-judge, dan kurang peduli sama perasaan orang lain. Kok bisa gitu, ya? Yuk, kita kupas tuntas penyebab, akibat, dan solusinya!

Penyebab Krisis Empati di Era Digital

Interaksi Virtual yang Minim Emosi 

Chatting lewat teks atau emoji memang praktis, tapi nggak bisa menggantikan komunikasi tatap muka. Tanpa ekspresi wajah atau intonasi suara, pesan bisa disalahartikan, bikin orang lebih gampang salah paham dan kurang memahami perasaan orang lain.

Budaya ‘Cancel’ dan Perundungan Online 

Media sosial jadi ladang cancel culture, di mana orang gampang menghakimi tanpa tahu konteksnya. Alih-alih memahami perspektif orang lain, kita lebih sering fokus mencari kesalahan mereka.

Overdosis Informasi dan Konten Viral 

Tiap hari kita dihujani berita viral, mulai dari tragedi sampai skandal. Karena kebanyakan info, kita jadi lebih ‘kebal’ terhadap penderitaan orang lain. Akibatnya, rasa empati menurun karena otak kita terlalu sering melihat hal-hal yang mengundang emosi.

Anonimitas di Internet 

Dunia maya memberi kebebasan untuk bersembunyi di balik layar. Banyak orang merasa aman berkata kasar atau menyebarkan kebencian tanpa takut konsekuensi. Ini bikin interaksi digital jadi lebih dingin dan kurang empati.

Dampak Krisis Empati

Meningkatnya Konflik Sosial 

Karena kurangnya empati, perdebatan di media sosial sering berakhir dengan toxic dan permusuhan. Orang lebih mudah tersulut emosinya tanpa benar-benar mendengarkan lawan bicaranya.

Rasa Kesepian dan Isolasi

Meskipun kita dikelilingi banyak ‘teman online’, tetap aja banyak orang yang merasa kesepian. Tanpa empati, hubungan jadi terasa hampa dan kurang bermakna.

Menurunnya Kesehatan Mental 

Krisis empati bisa memicu depresi dan kecemasan, baik bagi korban cyberbullying maupun pelaku yang tidak menyadari dampak negatif dari tindakan mereka.

Cara Meningkatkan Empati di Era Digital?

Biasakan Mendengar dengan Hati 

Jangan buru-buru nge-judge seseorang dari postingan atau komentar mereka. Coba pahami perspektif mereka sebelum berkomentar atau bereaksi.

Kurangi Konsumsi Konten Negatif 

Batasi paparan berita atau konten yang memicu kebencian dan provokasi. Pilih sumber informasi yang seimbang dan nggak cuma menyajikan drama.

Perbanyak Interaksi Tatap Muka 

Jangan cuma ngobrol lewat chat, sesekali ajak teman atau keluarga buat ketemu langsung. Interaksi nyata bisa memperkuat rasa empati dan keterikatan emosional.

Gunakan Media Sosial Secara Positif 

Sebarkan pesan positif, support orang lain yang sedang kesulitan, dan jangan gampang terprovokasi oleh drama online.

Sadari Dampak Perkataan Kita 

Ingat, di balik layar ada manusia nyata yang bisa terluka karena kata-kata kita. Sebelum nge-post atau berkomentar, pikirkan dulu apakah itu bermanfaat atau malah menyakiti.

Krisis empati di era digital itu nyata dan berdampak besar pada kehidupan kita. Tapi, bukan berarti kita nggak bisa mengubahnya. Dengan mulai dari diri sendiri—lebih peduli, lebih mendengarkan, dan lebih bijak dalam menggunakan media sosial—kita bisa membangun kembali rasa empati di dunia digital ini. Jadi, yuk, mulai sekarang jadi netizen yang lebih manusiawi!

Follow WhatsApp Channel gentra.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Tirto Adhi Soerjo: Dari Pena ke Perlawanan, Warisan yang Tak Pernah Padam
Gap Year Bukan Tentang Berhenti, Tapi Tentang Bertumbuh
“Lelah Tapi Harus Kuat”, Fenomena Powerless di Kalangan Gen Z
“Siliwangi Menggugat”, Mengukur Jurang antara Janji dan Kinerja Rektor
Kontroversi Vasektomi Sebagai Syarat Penerima Bansos
Blokade Israel Sebabkan Ribuan Anak Gaza Alami Malnutrisi Akut
Sejarah Hari Buruh di Dunia dan Indonesia
Sukatani Kembali Rilis Single ‘Tumbal Proyek’

Berita Terkait

Selasa, 14 Oktober 2025 - 11:35 WIB

Tirto Adhi Soerjo: Dari Pena ke Perlawanan, Warisan yang Tak Pernah Padam

Senin, 13 Oktober 2025 - 23:59 WIB

Gap Year Bukan Tentang Berhenti, Tapi Tentang Bertumbuh

Kamis, 9 Oktober 2025 - 20:26 WIB

“Lelah Tapi Harus Kuat”, Fenomena Powerless di Kalangan Gen Z

Jumat, 3 Oktober 2025 - 22:53 WIB

“Siliwangi Menggugat”, Mengukur Jurang antara Janji dan Kinerja Rektor

Kamis, 8 Mei 2025 - 22:19 WIB

Kontroversi Vasektomi Sebagai Syarat Penerima Bansos

Berita Terbaru

Aksi Forum santri Tasikmalaya kecam Tayangan stasiun televisi Trans7 (foto: Ali)

Berita

Kecaman Santri Kepada Trans7 Mengalir Hingga Tasikmalaya

Kamis, 16 Okt 2025 - 11:59 WIB

Monitoring dan evaluasi Program Pesantren Ramah Anak (PRA) (Foto: gentra.id)

Berita

KPAD Dorong Pesantren Ramah Anak di Bungursari

Rabu, 15 Okt 2025 - 22:11 WIB

(foto: ilustrasi)

Artikel

Gap Year Bukan Tentang Berhenti, Tapi Tentang Bertumbuh

Senin, 13 Okt 2025 - 23:59 WIB