Gentra.id– Pernah kepikiran nggak, gimana sih awalnya uang di Indonesia? Sebelum kita kenal rupiah yang sekarang ada di dompet atau e-wallet kita. Dulu banget masyarakat Nusantara nggak pakai uang buat transaksi, tapi barter! Misalnya, kalau butuh beras, ya tinggal tuker sama hasil kebun atau barang lain yang sama nilainya.
Seiring waktu, kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai bikin mata uang sendiri, biasanya berupa koin dari emas atau perak. Pas zaman penjajahan, Belanda mengedarkan gulden, lalu Indonesia menggantikannya dengan rupiah setelah merdeka. Sejak itu, rupiah terus berkembang, dari bentuk fisik kayak kertas dan koin. Sampai sekarang yang udah masuk ke dunia digital lewat pembayaran cashless.
Penasaran gimana perjalanan panjang rupiah sampai jadi kayak sekarang? Yuk, kita bahas lebih dalam!
Mata Uang Nusantara di Era Kerajaan
Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat menyebut wilayah ini sebagai Nusantara dan berbagai kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, hingga Medang Mataram (Mataram Kuno) menguasainya. Di masa itu, transaksi jual beli sudah lumayan berkembang, tapi belum ada uang kertas seperti sekarang.
Alih-alih pakai uang kertas, masyarakat waktu itu pakai koin dari logam, biasanya terbuat dari emas atau perak.
Mata Uang di Era Hindu-Buddha
Di zaman ini, tiap kerajaan punya mata uangnya sendiri. Misalnya, di awal abad ke-12, Kerajaan Jenggala mencetak dan mengedarkan mata uang emas dan perak yang mereka sebut Krisnala (atau uang Ma). Pada abad ke-9, Kerajaan Buton mencetak uang yang disebut Kampua. Lalu, sekitar abad ke-14 sampai ke-16, Kerajaan Majapahit punya mata uang unik bernama Gobog, yang terbuat dari tembaga.
Mata Uang di Era Kerajaan Islam
Seiring berkembangnya Islam di Nusantara, banyak kerajaan Islam juga mulai mengeluarkan mata uangnya sendiri. Beberapa di antaranya adalah Kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Jambi, dan lainnya.
Mayoritas mata uang dari kerajaan-kerajaan Islam ini menggunakan tulisan Arab. Contohnya, mata uang dari Kerajaan Jambi yang di satu sisinya tertulis “Sanat 1256” dalam huruf Arab. Sementara di sisi lainnya ada tulisan “Cholafat al Mukmin”.
Kerajaan Samudra Pasai mencetak dan menggunakan mata uang khas yang disebut Dirham. Koin emas ini dihiasi ukiran nama Sultan yang berkuasa, seperti Malik Az-Zahir atau Malik At-Tahir. Jadi, selain sebagai alat transaksi, uang ini juga jadi simbol kekuasaan raja!
Mata Uang Indonesia di Masa Pendudukan Jepang
Pada tahun 1942, Jepang mencetak dan mengedarkan mata uang baru melalui Bank Nanpo Kaihatsu Ginko. Salah satu perubahan paling mencolok adalah tulisan pada uang tersebut. Yang awalnya bertuliskan De Javasche Bank (versi Belanda), diubah menjadi De Japansche Regeering (versi Jepang).
Menariknya, menjelang akhir pendudukan Jepang. Mereka berencana menerbitkan mata uang baru yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai strategi untuk menarik simpati masyarakat yang dikenal Rupiah Hindia Belanda!
Mata Uang Indonesia di Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, kondisi keuangan negara masih kacau. Masyarakat masih menggunakan berbagai jenis mata uang dalam transaksi, termasuk mata uang terbitan Hindia Belanda dan Jepang. Saat itu, pemerintah menetapkan empat jenis uang yang sah di Indonesia.
- De Javasche Bank
- De Japansche Regeering
- Dai Nippon Emisi
- Dai Nippon Teikoku Seibu
Situasi makin rumit ketika tentara sekutu datang dengan administrasi NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Namun, para pejuang Indonesia menolak keras uang ini karena menampilkan gambar Ratu Wilhelmina, simbol kerajaan, dan menggunakan bahasa Belanda. Saat Gulden NICA mulai masuk ke Pulau Jawa, Bung Karno langsung menyatakan bahwa mata uang tersebut ilegal!
Oeang Republik Indonesia (ORI): Mata Uang Pertama RI
Setelah merdeka, Indonesia langsung berusaha mencetak mata uang sendiri. Namun, keterbatasan sumber daya membuat proses ini cukup sulit. Setelah perjuangan panjang, akhirnya pada 3 Oktober 1946, pemerintah berhasil menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang rupiah pertama Indonesia.
Saat itu, pemerintah mewajibkan penukaran semua uang Jepang dengan ORI. Dengan nilai tukar 1 ORI = 50 Rupiah Hindia Belanda atau setara 0.5 gram emas. Sayangnya, ORI mengalami inflasi parah. Pada Maret 1947, nilai tukarnya anjlok dari 5 Gulden NICA jadi 0.3 Gulden NICA. Agresi militer Belanda, pemalsuan ORI, dan intimidasi NICA terhadap masyarakat yang menggunakannya memicu hal ini.
Karena situasi makin sulit, pemerintah akhirnya memberi izin daerah untuk menerbitkan mata uang lokal. Pemerintah kini mengenalinya sebagai ORI Daerah (ORIDA) sebagai upaya melawan dominasi uang NICA.
Uang Republik Indonesia Serikat (RIS)
Uang ini bergambar Presiden Sukarno dan ditandatangani oleh Menteri Keuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pemerintah menjadikan uang RIS sebagai alat pembayaran resmi di seluruh wilayah RIS untuk menyatukan berbagai mata uang dengan nilai tukar berbeda.
Sjafruddin juga memperkenalkan kebijakan “Gunting Sjafruddin”. Yakni pemotongan uang kertas De Javasche Bank lama dan mata uang Hindia Belanda untuk mengendalikan inflasi.
Meski uang RIS membantu merapikan sirkulasi keuangan, De Javasche Bank tetap memegang kendali atasnya. Pada Agustus 1950, setelah pemerintah membubarkan RIS dan mengembalikan Indonesia ke bentuk NKRI, pemerintah pun menghentikan penggunaan uang RIS.