Gentra.id – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis (20/3). Pengesahan berlangsung di Gedung Nusantara II, DPR, Senayan, Jakarta, meskipun banyak masyarakat melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan ini. Berbagai kelompok turun ke jalan untuk menentang revisi UU TNI. Termasuk Perserikatan Solidaritas Perempuan yang secara tegas menolak militerisme. Serta keterlibatan militer dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Menurut Anging Mammiri, sistem pengelolaan negara yang otoriter dan militeristik. Hal ini tidak hanya menciptakan sistem pemerintahan yang sentralistik, represif, tertutup, dan korup. Tetapi juga membatasi kebebasan serta ekspresi politik perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini bahkan mendukung kepentingan ekonomi negara-negara industri di Indonesia, memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Solidaritas Perempuan mencatat bahwa selama 34 tahun terakhir, TNI sering terlibat dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Salah satu contohnya adalah Bank Tanah yang mengklaim tanah di Kabupaten Poso, sehingga aparat melakukan tindakan represif terhadap perempuan setempat. Aparat TNI bersenjata lengkap mengintimidasi masyarakat setempat.
Perempuan dan Minoritas Gender
Sejumlah perempuan dan kelompok minoritas gender yang tergabung dalam Aliansi Bali turun ke jalan untuk memperingati International Women’s Day sekaligus menolak revisi UU TNI di depan Monumen Bajra Sandhi, Denpasar.
Koordinator lapangan Aliansi Bali, Abi Intan, menyatakan bahwa perempuan memiliki alasan kuat untuk menolak revisi UU TNI. Karena kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali kontrol militer atas ruang sipil, yang dapat menindas perempuan. Sejarah mencatat bahwa perempuan menjadi korban utama pada era Orde Baru, terutama saat kerusuhan 1998. Keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali berdampak buruk bagi perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan.
Bell Hooks, tokoh feminis interseksional bernama asli Gloria Jean Watkins, mengkritik militerisme sebagai bagian dari sistem patriarki dan kapitalisme rasis. Ia menegaskan bahwa militerisme memperkuat budaya kekerasan dan dominasi, yang merugikan perempuan serta kelompok marjinal lainnya. Pengesahan revisi UU TNI membuat masyarakat khawatir bahwa militer akan semakin mengontrol kehidupan politik dan sosial. Sehingga mempersempit ruang gerak perempuan untuk berkembang.
Dampak Revisi UU TNI bagi Perempuan
Pengesahan revisi UU TNI menimbulkan beberapa dampak terhadap perempuan:
- Perempuan Dipaksa Menerima Peran Tradisional
Masyarakat mengondisikan perempuan hanya sebagai individu pelengkap, bukan sebagai individu yang merdeka dan berdikari. - Kontrol Negara atas Tubuh dan Ranah Privasi Perempuan
Program seperti “Keluarga Berencana” memperlihatkan bagaimana negara mengintervensi alat reproduksi perempuan tanpa persetujuan mereka, bahkan melibatkan militer sebagai pengawas program ini. - Ancaman terhadap Aktivis Perempuan
Negara kerap mengintimidasi, melecehkan, bahkan membunuh perempuan yang memperjuangkan hak-haknya. Kasus Marsinah, perkosaan Mei 1998, dan penghancuran GERWANI menjadi bukti nyata dari represi terhadap aktivis perempuan. - Indoktrinasi Ibuisme
Masyarakat mengonstruksikan perempuan sebagai ibu ideal yang bertugas mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga kesejahteraan keluarga, dan mendukung suami. Hal ini membatasi peran perempuan dalam ruang publik.
Dampak ini menunjukkan bahwa militerisme bukan hanya soal angkat senjata, tetapi juga alat untuk menundukkan perempuan. Oleh karena itu, perempuan harus terus menolak revisi UU TNI agar sejarah kelam tidak terulang kembali.