Gentra.id– Jaringan Muda untuk Demokrasi (Jarum Demokrasi) bersama Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan Serikat Mahasiswa Progresif (Sempro) menolak keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Mereka menyampaikan sikap tersebut dalam diskusi publik bertajuk “Dosa Besar Orde Baru, Pengkhianatan Reformasi, dan Penghambaan Oligarki”. Berlangsung di Kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta pada Senin (10/11).
Diskusi menghadirkan tiga narasumber. Asep Komarudin dari Greenpeace, Edi Kurniawan Wahid dari YLBHI, dan pakar hukum tata negara dari STH Jentera, Violla Reinanda.
Jejak Orde Baru dan Kritik Terhadap Rezim Saat Ini
Edi Kurniawan Wahid menilai keputusan tersebut tidak memiliki dasar moral maupun hukum yang kuat. Menurutnya, syarat seseorang untuk mendapat gelar pahlawan adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
“Soeharto jelas tidak memenuhi kriteria itu. Ia memimpin rezim yang berdarah dan menimbulkan pelanggaran berat HAM di berbagai wilayah Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan merupakan upaya menghapus jejak sejarah dan menutupi kekejaman masa lalu.
“Jika pelanggar HAM dijadikan pahlawan, maka pembantaian di masa lalu akan dianggap sah,” katanya.
Sementara itu, Violla Reinanda melihat kebijakan pemerintah saat ini memiliki pola yang serupa dengan rezim Orde Baru. Ia menilai bahwa sejak masa pemerintahan Jokowi hingga Prabowo, pemerintah menerapkan corak kekuasaan autocratic legalism dengan cara memproduksi hukum untuk melegitimasi tindakan antidemokrasi dan memperkuat kepentingan ekonomi-politik penguasa, bukan untuk menegakkan keadilan sosial.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menunjukkan bahwa rezim ini memiliki irisan sejarah dan agenda yang sama dengan Orde Baru, terutama dalam sistem ekonomi yang berorientasi pada state capitalism,” ungkapnya.
Sementara itu, Asep Komarudin menyoroti warisan lingkungan dari era Orde Baru yang hingga kini masih terasa dampaknya. Ia menyebut pola pembangunan di masa Soeharto bersifat ekstraktif dan berpihak pada pemilik modal.
“Rezim Orde Baru sengaja membuka ruang sebesar-besarnya bagi investor melalui kebijakan seperti UU Penanaman Modal Asing, sementara kekayaan alam Indonesia justru mereka korbankan demi kepentingan modal. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan ruang hidup, dan lingkungan hancur oleh eksploitasi besar-besaran,” jelasnya.
Melalui diskusi ini, Jarum Demokrasi menyerukan agar publik tidak tinggal diam terhadap upaya mengubah ingatan kolektif bangsa. Mereka menegaskan, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bertentangan dengan konstitusi dan semangat reformasi. Jarum Demokrasi mendesak Presiden Prabowo untuk segera membatalkan keputusan tersebut demi menjaga integritas sejarah dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.






