Gentra.id – Keanekaragaman budaya yang dimiliki masyarakat Jawa Barat merupakan unsur kebudayaan nasional yang dapat memberikan corak dan karakteristik kepribadian bangsa. Penggalian dan pengembangan budaya daerah membutuhkan data dan informasi selengkap mungkin sehingga dapat dilihat sebagai satu perwujudan kesatuan kebudayaan nasional. Sumber informasi budaya yang sangat penting dalam rangka perwujudan kesatuan budaya nasional di Jawa Barat adalah naskah dan prasasti. Keduanya dapat dipandang sebagai dokumen budaya karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu. Selain itu, naskah dan prasasti termasuk dalam unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya.
Budaya masa lalu sedikitnya berguna untuk mengungkap ‘tonggak’ bagi suatu kehidupan masyarakat tertentu yang sama-sama dijalaninya. Itu sebabnya, naskah dan prasasti Sunda mampu menguak tabir, khususnya yang berkaitan dengan perempuan hebat di masa lalu, yakni Ratu Galunggung Batari Hyang Janapati yang dalam tulisan ini akan dilihat dari segi gender. Tulisan ini bertujuan mengungkap masalah gender yang muncul lewat naskah dan prasasti Sunda, dilihat dari peran, kedudukan, dan motif yang melatarbelakanginya, melalui pendekatan gender dalam sosial, sastra, dan budaya yang ada dalam naskah dan prasasti. Fokus penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada Batari Hyang Janapati sebagai seorang perempuan yang tercatat dalam karya sastra Sunda lama, baik itu yang berada dalam catatan naskah kuno maupun prasasti.
Penelitian gender yang berkaitan dengan tokoh dan peran perempuan dalam masyarakat Sunda pernah dilakukan penulis pada tahun 2002 (Suryani, dkk.). Penelitian tersebut berjudul “Peran Perempuan Sunda dalam Karya Sastra Sunda: Suatu Kajian Gender”. Penelitian penulis saat itu mengkaji empat karya sastra Sunda, yaitu Puputon, Baruang Ka Nu Ngarora, Lain Eta, dan Pipisahan, yang didanai oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 2002 penelitian tersebut diterbitkan menjadi buku dengan judul yang sama. Buku tersebut mengkaji tokoh-tokoh karya sastra melalui deskripsi secara struktural, motif tingkah laku, norma, persepsi, dan peran perempuan.
Riset-riset khusus mengenai tokoh perempuan Sunda dalam kajian gender kebanyakan dilakukan dalam penelitian skripsi mahasiswa di antaranya Jurusan Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Pendidikan Indonesia. Namun, mereka kebanyakan tidak secara khusus mengkaji ‘gender’ secara mendalam, hanya sebatas deskripsi teori dan uraian sepintas. Pada umumnya mereka mengkaji sastra melalui pendekatan struktur atau sosiologi sastra secara umum. Padahal, kajian gender terhadap perempuan Sunda perlu didalami lebih jauh untuk menghasilkan simpulan penelitian yang bisa menjadi pegangan mengenai peranan perempuan Sunda.
Mencermati perempuan-perempuan hebat di masa lalu seperti Ratu Sima, Ken Dedes, Batari Hyang Janapati, dan tokoh lainnya yang terungkap dalam naskah, tidak mengherankan apabila di era globalisasi kini muncul sosok perempuan hebat yang menduduki kedudukan dan posisi yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki, baik sebagai menteri, profesor, manajer, gubernur, bupati, maupun jabatan strategis lainnya. Tampilnya perempuan-perempuan di ranah publik tidak lepas dari peran modernisasi dan kemajuan zaman yang membuka persaingan tanpa membeda-bedakan gender.
Dengan demikian, tidak mengherankan juga apabila saat ini kita mengenal tokoh dan pahlawan perempuan seperti R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, Cristina Martha T., maupun Dewi Sartika, sebagai perempuan hebat pada masanya yang berjuang bagi sesamanya maupun bagi bangsa dan negara. Perempuan-perempuan hebat itu dapat dianggap sebagai ‘srikandi-srikandi’ penerus ‘tokoh’ perempuan sebagaimana terungkap dalam naskah dan prasasti.
Perempuan dalam masyarakat tradisional lebih bersifat introvert. Mereka lebih bereaksi lewat hatinya tanpa diwujudkan dalam tindakannya. Tatkala dihadapkan pada peran suami yang dominan, para istri lebih bersifat menerima karena keterikatannya secara ekonomi dan sosial. Sosok perempuan dalam masyarakat masa kini umumnya masih memperlihatkan adanya bentukan yang lahir dari sosok perempuan tradisional. Dikaitkan dengan latar, cara, dan tujuan, tindakan yang dilakukannya karena adanya keterikatan perempuan akan lingkungannya.
Beragam peristiwa yang dihadapi sosok perempuan mengimplikasikan bahwa setiap perempuan mengetahui keberadaan dan kemampuan dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya. Namun, para perempuan menempuh cara yang berbeda dalam memperoleh pengakuan dirinya, kekuatan, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Sebagian cara ditempuh secara normatif. Meskipun dalam beberapa kasus tidak jarang dilakukan tindakan yang keluar dari aturan adat, hukum, maupun norma moral, dikarenakan tidak puas terhadap harga dirinya. Hal ini pun sebenarnya tidak seratus persen berbeda dengan zaman dahulu. Sebagaimana kita simak dari motif dan perilaku Batari Hyang Janapati sesuai dengan peran dan kedudukannya sebagai perempuan, istri, ibu, Ratu Galunggung, panglima angkatan perang, dan juga sebagai guru agama pada masanya.
Tulisan ini hanya sekadar mencermati ‘peran perempuan’ yang berkaitan dengan masalah ‘gender’, terutama yang terungkap dalam tradisi tulis yang dalam tulisan ini dikhususkan terhadap tokoh yang bernama Batari Hyang Janapati, yang diarahkan kepada fungsi dan kedudukan ‘perempuan’ sebagai istri, ibu, dan anak. Fungsi itu dijalankan dan diarahkan kepada lingkungan keluarga dan lingkungan terdekatnya, tempat di mana seorang perempuan melakukan fungsi sosialnya, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakatnya.
Metode penelitian yang digunakan berupa deskriptif persepsional analisis melalui penggambaran objektif faktual. Berikutnya, data dipersepsi sesuai dengan tujuan. Persepsi penelitian yang dimaksud diarahkan pada pemahaman gender berdasarkan pengamatan tekstual kehidupan sosial budaya yang tertuang dalam naskah atau prasasti, maupun pengamatan sosial budaya yang nyata dan sesuai dengan data.
Esensi Tokoh Batari Hyang Janapati dalam Naskah dan Prasasti
Sesuai dengan fitrah perempuan yang ditakdirkan untuk melahirkan keturunan, hamil, melahirkan, dan menyusui adalah hal yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Tugas perempuan menurut anggapan patriarki hanya sebatas ibu rumah tangga yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan mendidik anak, serta melayani suami menjadi tugasnya seumur hidup. Perkembangan zaman yang berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pemikiran, dan kemajuan sosial mengakibatkan peran dan kedudukan perempuan pun ikut berubah. Kedudukan perempuan saat ini sudah setara dengan kaum pria dalam dunia pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Kesejajaran antara laki-laki dan perempuan tidak hanya berlangsung saat ini. Namun pada tahun 1111 Masehi terdapat perempuan Sunda yang pandai, seorang cendekia, panglima perang yang gagah berani, tangkas, dan cekatan, sekaligus seorang batari – ulama/guru agama – pada zamannya, sebagaimana terungkap dalam Naskah Amanat Galunggung dan Prasasti Geger Hanjuang. Sosok perempuan tersebut adalah Ratu Batari Hyang Janapati, yang memegang takhta kerajaan di daerah Galunggung.
Naskah Amanat Galunggung erat kaitannya dengan Prasasti Geger Hanjuang karena isinya berkenaan dengan pembuatan parit sebagai pertahanan Rumantak pada masa pemerintahan Batari Hyang Janapati. Sebagaimana terdapat dalam cuplikan naskah Amanat Galunggung:
“Awigmam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Banga, masa sya nyusuk na Pakwan makarangan Rhyangta Wuwus” (Danasasmita, dkk. 1989, hal. 119).
“Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahyangta Wuwus.”
Naskah Amanat Galunggung (AG) milik Perpustakaan Nasional sebelumnya ditempatkan di Museum Nasional, termasuk dalam koleksi Brandes dengan nomor kropak 632. Holle yang pertama kali membahas naskah AG ini, hanya sampai baris ke-4 lempir ke-4 (Darsa, 1991: 25; Suryani, 2007). Kemudian Pleyte dan Poerbatjaraka mencantumkan dan mengoreksi hingga keseluruhan teksnya tuntas.
Esensi Amanat Galunggung berisi tentang ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat yang dituturkan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya yang umumnya bagi masyarakat luas. Menurut salah satu karya Pangeran Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa adalah seorang raja Sunda yang memerintah tahun 1175–1297 Masehi, mula-mula berkedudukan di Saunggalah yang lokasinya termasuk daerah Galunggung, kemudian pindah ke Pakuan. Berdasarkan hal ini pula, Danasasmita memberi judul Amanat Galunggung.
Danasasmita memberi judul Amanat Galunggung karena sesuai dengan keseluruhan isi naskah ini. Naskah Amanat Galunggung berkaitan erat dengan Prasasti Geger Hanjuang karena isinya berkenaan dengan pembuatan parit (pertahanan) Rumantak pada masa pemerintahan Batari Hyang Janapati yang bertahta di Galunggung. Naskah Amanat Galunggung dan Prasasti Geger Hanjuang pun memiliki korelasi dengan Hari Jadi Tasikmalaya yang dibuat pada tanggal 21 Agustus 1111 Masehi, sebagai tanda upacara penobatan Batari Hyang Janapati sebagai penguasa dan bertahta di Galunggung. Dengan demikian, Prasasti Geger Hanjuang mampu membuktikan bahwa cerita rakyat/sastra lisan yang tersebar dan berkembang di sekitar Galunggung yang ditengarai hampir punah, ternyata benar-benar terbukti dan ada. Hal ini menjadi pembuktian nyata kepada masyarakat Tasikmalaya.
Pada tahun 1111 Masehi, Kerajaan Galunggung yang semula berbentuk kebataraan diperintah oleh Batari Hyang Janapati, seorang perempuan berjiwa prajurit yang cerdas, tangkas, cekatan, dan nyantri. Dia dikenal sebagai seorang prajurit handal yang menguasai daerah Galunggung. Dia ikut andil memperkuat pertahanan ibukota kerajaan dengan parit. Prasasti Geger Hanjuang yang berkaitan dengan tokoh Batari Hyang Janapati merupakan patokan dalam rangka menelusuri Hari Jadi Tasikmalaya. Prasasti tersebut merupakan tonggak yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pertama kali prasasti itu dibaca oleh Holle, kemudian dikoreksi oleh Pleyte. Danasasmita pernah melakukan pembacaan kembali disertai koreksi dan pembahasan mendalam. Prasasti tersebut ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Leuwisari Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti yang dimaksud kini tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 cm dan lebar 60 cm.
Prasasti Geger Hanjuang isinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda kuno yang cukup jelas untuk dibaca, terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:
“tra ba i gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusuk ku Batari Hyang”
Tafsirannya:
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang.”
Berdasarkan silsilahnya, disebutkan bahwa pengganti Sri Jayabhupati adalah Sang Darmaraja dengan nama penobatan Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana. Di awal pemerintahannya, terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, panglima angkatan laut kerajaan Sunda. Dia berusaha merebut kekuasaan dari saudara seayahnya, tetapi dapat ditumpasnya. Wikramajaya pun melarikan diri ke kerajaan Sriwijaya. Jabatan panglima angkatan laut diserahkan kepada Sang Wirakusumah, atas kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja.
Wilayah Galuh yang dipercayakan kepada Dewi Sumbadra dapat menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dewi Sumbadra menjadi penguasa kerajaan Galuh sampai tahun 1065 M, selama 38 tahun. Dia diganti oleh putranya, Prabu Arya Tunggalningrat, yang berkuasa sampai tahun 1091 M. Putrinya bernama Dewi Surastri, menjadi permaisuri Sang Maharaja Darmaraja. Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja berputra, di antaranya:
- Prabu Langlangbumi
- Darmanagara (mangkubumi kerajaan)
- Wirayuda (panglima angkatan perang)
Salah satu keturunan Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi adalah Sang Resiguru Batara Hyang Purnawijaya. Dia berputra beberapa orang, di antaranya:
- Dewi Puspawati
- Dewi Citrawati alias Batari Hyang Janapati
Tahap awal adalah penelusuran tokoh Batari Hyang Janapati tentang dirinya, pria atau suaminya, orang tua, anaknya, kerabat, atau lainnya yang berkaitan dengan dirinya. Batari Hyang Janapati, nama sebenarnya adalah Dewi Citrawati, salah seorang putri dari Sang Resiguru Batara Hyang Purnawijaya, yang merupakan cucu dari Sri Jayabhupati dan Dewi Pertiwi. Dewi Puspawati, kakak dari Batari Hyang Janapati, diperistri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi istri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbul hasrat dari Dewi Citrawati alias Batari Hyang Janapati untuk membunuh kakaknya. Melihat perselisihan kedua putrinya, Sang Purnawijaya (ayah Batari Hyang) mengawinkan Dewi Citrawati dengan Resiguru Sudakarmawisesa (penguasa Kebataraan Galunggung). Setelah perkawinannya, Resiguru Sudakarmawisesa menyerahkan tahtanya kepada istrinya dengan nama nobat Batari Hyang Janapati, karena Sang Resiguru Sudakarmawisesa memilih mendalami keagamaan dengan menjadi seorang Resi.
Berdasarkan hasil bacaan dalam Naskah Carita Parahyangan, didapatkan kesimpulan cerita seperti berikut. Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan antara Prabu Langlangbumi, suami dari kakak Batari Hyang Janapati, dengan penguasa Galunggung yang adalah dirinya sendiri.
Sebutan ‘Batari Hyang’ sebagai penguasa Galunggung berkaitan erat dengan predikat ‘Batari’ yang digunakan untuk menyebut seseorang yang tinggi martabatnya dalam bidang keagamaan. Hal tersebut sesuai dengan kedudukan Batari Hyang Janapati itu sendiri, karena selain seorang perempuan luar biasa, seorang Ratu Galunggung yang cerdas dan perkasa, dan panglima perang yang handal, pembuat parit/benteng pertahanan Rumantak. Kebatarian yang dimilikinya berkenaan dengan kedudukannya sebagai ‘guru agama’ yang digelari Sang Sadu Jati bagi rakyat dan raja-raja keturunannya, sehingga ajarannya dijadikan ajaran resmi pada masanya di Galunggung. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dia juga layak digelari Siliwangi (ratu yang harum namanya) seperti raja-raja lain yang telah mampu ngretakeun urang reya yang bergelar Prabu Siliwangi.
Sosok Batari Hyang Janapati sebagai guru agama tersebut ditemukan melalui naskah Amanat Galunggung (Atja, dkk. 1989) yang mengungkapkan bahwa di Kabuyutan Galunggung, ditemukan ‘patilasan’ semacam ‘mandala’ berupa padepokan/perguruan. Padepokan itu menjadi sebuah karesian yang banyak didatangi oleh para santri. Setiap murid wajib ‘bertirakat’ di padepokan untuk memperoleh kekuatan lahir maupun batin. Selain itu, pernah berkembang dan dibangun sarana peribadatan Mandala Kawikwan sebagai sarana spiritual untuk melakukan hubungan dengan arwah suci.
Kabuyutan Galunggung pada masa silam disakralkan sebagai pusat kekuatan spiritual yang memiliki energi mistik alam semesta yang paling tinggi di bumi Galunggung. Di Kabuyutan Galunggung, tempat berkumpulnya para arwah suci yang dikeramatkan dan disakralkan sebagai tempat menempa jiwa untuk menyiapkan pemuka agama yang handal. Dalam perkembangannya, Kabuyutan Galunggung menjadi sebuah padepokan terbesar di Bumi Galunggung. Berdasarkan hal tersebut, tidak mengherankan jika sampai sekarang, fakta mengungkapkan bahwa di Tasikmalaya terdapat banyak pondok pesantren terkemuka dan terkenal. Sehubungan dengan itu, mungkin warga Tasikmalaya merasa layak jika Tasikmalaya digelari sebagai kota Santri.
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Batari Hyang Janapati merasa cemas akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Prabu Langlangbumi. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Batari Hyang Janapati membentuk angkatan perang dan membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, pusat kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota kerajaan Galuh. Setelah selesai membangun ibukota yang baru, Batari Hyang Janapati membuat prasasti yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang. Prasasti ini ditemukan di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang atau Kabuyutan Linggawangi. Karena prasasti ini semula terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D. 26. Rumatak yang dimaksud oleh Prasasti Geger Hanjuang adalah ibukota yang baru untuk Kerajaan Galuh. Penduduk di tempat ditemukannya prasasti tersebut masih mengenalnya sebagai Rumatak.
Peran, Kedudukan, dan Motif Batari Hyang Janapati dalam Pespektif Gender
Kehadiran perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat melibatkan beragam konsep pemikiran yang tidak terlepas dari refleksi masyarakat pada saat perempuan hidup, terutama dalam konteks pemilihan gender. Pemilihan ini secara umum dan khusus membedakan peran laki-laki dan perempuan berdasarkan strukturalisasi sosiokultural. Peran perempuan dapat ditelusuri melalui motif, norma tingkah laku, dan persepsi yang tercermin dalam naskah dan novel Sunda, sebagai cerminan masyarakat secara keseluruhan.
Pemahaman terhadap gender di masyarakat sering kali keliru karena dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang menganggapnya sebagai kodrat, padahal kemampuan ini merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Dalam perbandingan kemampuan, perempuan masih sering dianggap emosional sehingga posisi mereka sering kali kurang dihargai secara cukup penting.
Ketidakadilan sering muncul dari perbedaan ini, terutama dalam rumah tangga yang terlihat dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, interaksi antaranggota keluarga, serta masalah lain yang menunjukkan bias gender seperti marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan. Oleh karena itu, rumah tangga menjadi tempat kritis dalam menyoalisasi ketidakadilan gender yang mungkin telah tertanam dalam keyakinan masing-masing laki-laki dan perempuan (lihat Fakih, 1999: 21-23).
Masalah gender melekat erat dalam peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat, yang sering kali menghasilkan konflik karena persinggungan antargender. Konflik ini mengungkapkan bias gender dalam implementasi peran dan perilaku, sejalan dengan pola pikir dan nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap kehidupan, konflik dasar diinterpretasikan sebagai fakta sosial pada masa itu, atau setidaknya sebagai kemungkinan yang dapat terjadi baik di masa lalu maupun sekarang. Ruang-ruang gender menunjukkan beragam konflik dalam rumah tangga yang dipengaruhi oleh perbedaan gender. Aktivitas perempuan dalam rumah tangga dan lingkungan terdekatnya mencerminkan pelekatan terhadap fungsi dan kedudukannya dalam lingkungan sosial.
Melalui penelusuran motif tingkah laku, norma, dan persepsi dalam kehidupan bermasyarakat, aktivitas perempuan dalam rumah tangga dan lingkungan terdekatnya mencerminkan adanya pelekatan terhadap fungsi dan kedudukannya di dalam lingkungan sosialnya. Persepsi yang muncul dalam peran perempuan dan laki-laki dibentuk oleh pengetahuan dan pengalaman hidup masing-masing pelaku. Dengan demikian, peran perempuan dalam masyarakat, terutama yang tercermin dalam naskah dan novel Sunda, dapat ditelusuri dalam upaya menjalankan fungsi sosialnya.
Menyimak peran perempuan dalam menjalankan fungsinya sebagai istri bagi suaminya, konsep dasarnya telah dimiliki. Namun, dalam praktiknya, tidak semua perempuan menjalankan peran ini dengan benar. Sebagai istri dan ibu, perempuan berperan penting dalam mendukung suami dan keluarga mereka, terlibat dalam berbagai urusan rumah tangga dan mendukung suami dalam mencari nafkah. Dengan memainkan peran tradisional ini, istri membantu suami mencapai ambisinya dan mendapatkan posisi yang dihormati dalam lingkungan sosial yang lebih luas.
Peran Batari Hyang Janapati
Sebagai seorang perempuan, istri, ibu, Ratu Galunggung, dan panglima perang, Batari Hyang Janapati memiliki peran ganda dalam kehidupannya. Namun, motif utama dalam hidupnya adalah dendam yang dirasakannya karena cintanya tidak terbalas oleh Pangeran Langlangbumi, yang memilih untuk menikahi saudarinya sendiri. Meskipun telah menjadi seorang Ratu dan panglima perang, dendam tersebut tetap menghantuinya.
Suaminya, yang berperan sebagai ‘resi’, sangat penting dalam mengarahkan Batari Hyang Janapati untuk mengubah dirinya menjadi perempuan yang tangguh bagi kebatariannya, serta sebagai ibu yang bertanggung jawab terhadap suami dan anak-anaknya. Kedudukan Batari Hyang Janapati sebagai istri sangat tergantung pada status suaminya dalam sistem patriarki, dengan ketergantungan ekonomi, sosial, dan mental yang melekat pada hubungan ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, Batari Hyang Janapati menunjukkan motif dan perilaku yang berbeda dengan Dewi Puspawati, kakaknya. Dalam situasi di mana Pangeran Langlangbumi memilih Dewi Puspawati sebagai istrinya, Batari Hyang Janapati merasa patah hati. Namun, dengan bimbingan ayahnya yang bijaksana, akhirnya Batari Hyang Janapati dinikahkan dengan Resiguru Sudakarmawisesa, penguasa Kebataraan Galunggung.
Motif dan perilaku Batari Hyang Janapati yang terus menerus ingin mengalahkan kakaknya, Dewi Puspawati, menjadi ciri khasnya. Dalam kehidupan pribadinya, dendam ini tercermin dalam benteng pertahanan yang ia bangun, yang kemudian tercatat dalam Prasasti Geger Hanjuang.
Dalam konteksnya, tindakan Batari Hyang Janapati diilhami oleh hubungan yang dia miliki dengan peran, kedudukan, status, dan lingkungannya, terutama ‘kebatariannya’. Perempuan seperti Dewi Puspawati dan Dewi Citrawati menunjukkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi konflik, dengan kelabilan emosional dan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perilaku mereka.
Status, peran, dan fungsi perempuan sebagai istri di masa lalu sering kali menuntut pengabdian mereka kepada suami dan anak-anaknya, tergambar dalam berbagai naskah Sunda yang berfokus pada gender dan pengaruh Islam seperti Wawacan Piwulang Istri, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Barjah, Hikayat Siti Fatimah, Lutung Kasarung, dan Wawacan Rengganis. Meskipun konteksnya berbeda, novel Sunda seperti Puputon, Pipisahan, Baruang Ka Nu Ngarora, dan Lain Eta, tetap mempertahankan gambaran perempuan tradisional.
Simpulan
Berdasarkan data dari naskah dan prasasti Sunda, dapat disimpulkan bahwa motif tingkah laku, norma yang mengatur tingkah laku, persepsi terhadap perempuan dan laki-laki, serta peran perempuan terkait dengan diskusi gender sangat penting. Motif tingkah laku yang ditunjukkan oleh Batari Hyang Janapati masih mencerminkan sifat tradisional perempuan. Konflik dan reaksi yang ditunjukkan oleh tokoh ini dipengaruhi oleh lingkungan dan pengaruh emosional yang kuat.
Di era globalisasi saat ini, peran dan kedudukan perempuan telah berubah signifikan dalam berbagai bidang. Banyak perempuan yang kini menduduki posisi setara dengan pria dan memegang kendali dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun demikian, perempuan tetap memegang peran tradisional sebagai istri, ibu, dan anggota keluarga yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga mereka. Transformasi ini menantang pandangan tentang kodrat perempuan di masa lalu, dan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana perempuan menghadapi peran mereka dalam konteks modern.
Dengan mempertimbangkan warisan budaya masa lalu, kita dapat menemukan kearifan lokal yang berharga dari naskah dan prasasti, serta karya sastra lainnya. Masa lalu tetap relevan dalam mengeksplorasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat modern, terutama dalam konteks gender dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Sunda.