Fenomena psikologis kini tak hanya menjadi bahan diskusi di ruang kuliah atau klinik, tetapi juga di platform hiburan seperti TikTok. Salah satu istilah yang sedang naik daun di kalangan Generasi Z adalah avoidant attachment.
Di media sosial, tagar #avoidantattachment sudah digunakan lebih dari 150 ribu kali dan menjadi topik hangat di berbagai video reflektif, curhatan, hingga konten edukatif. Namun, di balik tren ini, ada makna psikologis yang jauh lebih dalam daripada sekadar “alasan susah dekat secara emosional.”
Akar dari Gaya Keterikatan yang Menghindar
Menurut dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ, seorang psikiater dari RSUP Persahabatan Jakarta, avoidant attachment atau keterikatan menghindar merupakan salah satu gaya keterikatan (attachment style) yang terbentuk sejak masa kanak-kanak.
Gaya keterikatan ini berkembang dari pola hubungan awal anak dengan pengasuh atau orang tuanya. Jika sejak kecil anak tumbuh dengan pengalaman emosional yang tidak responsif—misalnya orang tua cenderung dingin, jarang menunjukkan kasih sayang, atau menolak ekspresi emosi anak—maka anak belajar bahwa kelekatan emosional tidak aman untuk dilakukan.
Anak-anak seperti ini, menurut teori John Bowlby dan Mary Ainsworth, akan mengembangkan strategi bertahan hidup dengan cara menekan kebutuhan akan kedekatan. Mereka tumbuh menjadi individu yang tampak mandiri, kuat, dan tidak tergantung pada orang lain, padahal di dalam dirinya terdapat rasa takut akan penolakan.
Akibatnya, ketika dewasa dan mulai menjalin hubungan romantis, mereka cenderung menjaga jarak, sulit mengekspresikan perasaan, dan merasa tidak nyaman dengan keintiman emosional.
Citra Mandiri yang Ternyata Bentuk Pertahanan
Di TikTok, istilah avoidant attachment sering dipopulerkan dalam bentuk konten yang menggambarkan seseorang “lebih nyaman sendiri”, “tak mau terikat”, atau “tidak butuh orang lain.” Narasi ini terdengar keren, seolah mandiri dan kuat.
Namun, dr. Lahargo menegaskan bahwa sebenarnya gaya keterikatan menghindar bukanlah cerminan dari kemandirian sejati, melainkan mekanisme pertahanan diri emosional yang terjadi secara bawah sadar (unconscious defense mechanism).
Artinya, individu dengan gaya ini bukan tidak bisa mencintai atau berhubungan, melainkan pernah belajar bahwa kedekatan emosional itu menyakitkan. Dalam konteks ini, menghindar bukan berarti membenci hubungan, tapi justru cara otak untuk melindungi diri dari kemungkinan ditolak atau terluka lagi.
Mengapa Generasi Z Rentan Mengalami Avoidant Attachment
Generasi Z tumbuh di era digital, di mana koneksi sosial begitu luas namun sering kali dangkal. Banyak dari mereka mengaku lebih mudah mengekspresikan diri di dunia maya daripada di dunia nyata. Tekanan sosial, pola asuh modern yang serba cepat, serta meningkatnya isu kesehatan mental berkontribusi terhadap terbentuknya pola keterikatan yang rapuh.
Selain itu, sebagian besar Gen Z juga tumbuh di tengah keluarga yang menuntut kesempurnaan akademik dan prestasi, tetapi kurang dalam validasi emosional. Anak-anak yang dibesarkan dengan pujian atas capaian tetapi jarang diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan cenderung membangun jarak emosional dengan lingkungannya. Akibatnya, ketika mereka dewasa dan mencoba menjalin hubungan, keintiman justru terasa menakutkan.
Kondisi ini sejalan dengan temuan sejumlah studi psikologi modern yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat stres dan keterasingan sosial pada masa remaja, semakin besar kemungkinan seseorang mengembangkan avoidant attachment di masa dewasa. Fenomena ini memperlihatkan bahwa gaya keterikatan bukanlah pilihan sadar, melainkan hasil dari pengalaman emosional yang berulang.
Pola dalam Hubungan dan Dampaknya
Orang dengan avoidant attachment sering tampak tenang dan logis dalam hubungan, tetapi cenderung menghindari diskusi mendalam tentang perasaan. Mereka bisa tiba-tiba menjauh ketika hubungan mulai serius, menolak komunikasi yang terlalu intens, atau lebih suka menyendiri ketika ada konflik. Dalam hubungan romantis, pasangan mereka sering merasa kebingungan dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang jelas.
Namun, perlu diingat bahwa memiliki gaya avoidant bukan berarti seseorang tidak bisa mencintai atau menjalin hubungan yang sehat. Kesadaran dan pemahaman terhadap pola ini adalah langkah pertama untuk berubah. Dengan terapi, refleksi diri, dan dukungan emosional yang konsisten, seseorang bisa belajar membangun rasa aman dalam hubungan tanpa kehilangan rasa mandiri.
Media Sosial: Ruang Edukasi dan Validasi Emosi
Menariknya, di balik tren #avoidantattachment, terdapat sisi positif. Media sosial kini menjadi ruang edukasi mental health yang lebih terbuka. Banyak konten kreator dan psikolog muda yang berusaha menjelaskan konsep ini dengan cara ringan namun tetap informatif. Generasi Z yang haus akan pemahaman diri menemukan bahwa apa yang mereka rasakan ternyata memiliki istilah ilmiah dan penjelasan logis.
Mereka belajar bahwa sulit dekat bukan berarti rusak, dan menjaga jarak bukan berarti tidak peduli. Pemahaman ini membantu banyak anak muda mengenali pola hubungan mereka dan mulai memperbaikinya. Fenomena ini bisa menjadi langkah awal menuju generasi yang lebih sadar emosional, yang berani menghadapi luka masa lalu dengan cara yang lebih sehat.
Menuju Keterikatan yang Lebih Aman
Pada akhirnya, memahami avoidant attachment bukan sekadar ikut tren psikologi, tetapi upaya untuk mengenali diri sendiri.
Dengan mengenali akar penyebabnya, seseorang dapat belajar untuk perlahan-lahan membuka diri terhadap keintiman, menerima dukungan, dan membangun hubungan yang lebih aman.
Generasi Z memiliki keunggulan dalam hal keterbukaan terhadap isu kesehatan mental. Jika fenomena ini dimaknai secara positif, media sosial dapat menjadi alat refleksi yang efektif, bukan sekadar ajang pembenaran diri. Karena pada dasarnya, memahami avoidant attachment bukan tentang mencari alasan untuk menjauh, tetapi tentang belajar mendekat dengan cara yang lebih sehat dan sadar.






