Gentra.id– Dugaan kasus pelecehan seksual kembali mengguncang dunia akademik. Kali ini, terjadi di Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya. Seorang mahasiswa melaporkan dosennya atas dugaan tindakan pelecehan. Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Serta menyoroti persoalan serius terkait relasi kuasa serta lemahnya sistem perlindungan terhadap korban.
Publik dan Kampus Harus Berani Berpihak pada Korban
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU)Kota Tasikmalaya, Ajat Sudrajat. Menyatakan bahwa relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa menjadi faktor penghambat utama keberanian korban untuk melapor. Dalam konteks ini, pihak kampus dan publik diminta untuk tidak tinggal diam dan segera mengambil tindakan.
“Ketika pelaku adalah dosen, maka ada relasi kuasa yang sangat mempengaruhi keberanian korban untuk melapor. Kita harus mendukung dan melindungi korban, bukan menyudutkan atau meragukannya,” ujarnya.
Ajat menambahkan bahwa relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa menciptakan ketimpangan posisi, sehingga korban kerap kali merasa terintimidasi. Dalam kasus seperti ini, bukan hanya aspek hukum yang penting, tetapi juga dukungan psikososial, ruang aman, dan keberanian institusi untuk bersikap tegas terhadap pelaku.
“Kampus semestinya menjadi tempat yang aman dan mendidik. Tapi jika budaya patriarki dan diam terhadap kekerasan masih dipelihara, maka kekerasan seksual akan terus berulang. Pihak universitas harus berpihak pada korban dan membuka ruang investigasi yang transparan,” tegasnya.
Menurutnya, penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk tidak menutupi kasus kekerasan seksual demi menjaga nama baik, karena justru sikap transparan dan keberanian bertindak akan menjadi contoh dan pendidikan moral nyata bagi mahasiswa.
“Jangan tunggu viral dulu baru bertindak. Setiap laporan harus ditindaklanjuti secara adil dan tentunya penjaminan rahasia korban dijaga,” katanya.
Ajat juga menyerukan pengaktifan Satgas PPKS secara nyata, sesuai dengan mandat Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Serta mendorong masyarakat dan media untuk memahami bahwa keberpihakan kepada korban bukan berarti menghakimi pelaku tanpa proses hukum.
“Kita harus ciptakan ruang aman di mana korban bisa bersuara tanpa takut. Ini bukan soal satu kasus, ini tentang budaya keadilan dan kemanusiaan,” tutupnya.
Dorong Kesadaran Hukum dan Sinergi Lembaga
Sementara itu, Plt. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Tasikmalaya, Epi Mulyana, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus yang mencoreng dunia pendidikan. Ia menekankan pentingnya peningkatan kesadaran hukum masyarakat dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Saya sangat menyesalkan kejadian ini, apalagi terjadi di lingkup dunia pendidikan dan melibatkan tenaga pendidik sebagai tersangka. Ini sangat menyakitkan dan menjadi catatan kelam bagi kita semua,” ujarnya.
Berbeda dari Ajat yang menyoroti ketimpangan relasi kuasa. Epi lebih menekankan pentingnya tidak gegabah dalam menilai suatu kasus. Serta mendorong masyarakat untuk mendalami informasi secara objektif.
“Kita harus lebih bijak dalam menentukan sikap dan pernyataan. Korban perlu menyampaikan kebenaran dengan berani, dan kita harus mendukung keberanian itu melalui tindakan nyata, seperti membantu membuat laporan ke pihak berwenang,” tegasnya.
Epi juga menyerukan penguatan sinergi antara lembaga pendidikan, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Serta berharap keberadaan Satgas PPKS mampu bertindak secara adil dan profesional.
“Satgas PPKS harus adil menyikapi baik korban maupun pelaku. Pihak kampus harus menjadikan hasil audit dan kajian internal sebagai dasar untuk memperbaiki lingkungan pendidikan agar lebih aman dan bermartabat,” katanya.
Sebagai pembina Komunitas Kopegaham (Komunitas Pemuda Pelajar Penggiat HAM). Epi juga menginisiasi pembentukan Duta Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Serta mendorong pembentukan Satgas Perlindungan di tingkat kecamatan hingga RW.
“Kami harap perguruan tinggi di Kota Tasikmalaya ikut bergabung dalam gerakan pencegahan ini. Pembentukan Satgas hingga tingkat RT dan RW dapat meminimalkan, bahkan menghilangkan, kekerasan terhadap perempuan dan anak,”pungkasnya.