Gentra.id — Di tengah berulangnya bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sejak akhir November 2025, solidaritas warga terus bergerak dari berbagai daerah. Di Kota Tasikmalaya, kepedulian itu diwujudkan melalui aksi penggalangan donasi bertajuk “Pray for Sumatra” yang digagas Tasikmalaya Social Movement (TSM) dengan melibatkan sedikitnya 23 komunitas lintas sektor.
Solidaritas Lintas Komunitas di Tengah Bencana
Kegiatan yang digelar di Universitas Perjuangan Tasikmalaya pada Sabtu (19/12/2025) tersebut dikemas dalam bentuk panggung seni dan musik sebagai ruang kolektif bagi pemuda dan masyarakat. Tidak sekadar menjadi ajang pengumpulan donasi, panggung ini juga menjadi medium penyampaian pesan kemanusiaan sekaligus refleksi kritis atas krisis ekologis yang terus berulang.
Beragam pertunjukan ditampilkan, mulai dari musik lintas genre, pembacaan puisi, teatrikal, hingga tarian. Perbedaan ekspresi seni tersebut mencerminkan keberagaman latar belakang komunitas yang terlibat, namun berpadu dalam satu tujuan: merespons penderitaan sesama secara bersama.
Panggung Seni sebagai Ruang Kolektif Kemanusiaan
Aksi solidaritas ini melibatkan komunitas seni, musik, literasi, hobi, olahraga, hingga lingkungan. Beberapa di antaranya adalah UKM Seni Musik Universitas Siliwangi, UKM Seni Musik dan Entertainment Universitas Perjuangan, Shlzu Live Painting, Warrior of Nature Universitas BTH, Stand Up Indo Tasikmalaya, Tasik BMX, Kataswara, Mojang Jajaka, The Boyout, Losraricos, serta komunitas lainnya yang tergabung dalam gerakan ini.
Pemuda dan Kekuatan Gerak Bersama
Ketua pelaksana kegiatan, Acep Azhar Jatnika, mengatakan aksi tersebut lahir dari keprihatinan atas kondisi masyarakat di Sumatra yang terdampak bencana. Ia menyebut, salah satu rekan dalam jaringan komunitas Tasikmalaya bahkan menjadi korban langsung, sehingga mendorong lahirnya respons cepat secara kolektif.
“Bencana di Sumatra bukan peristiwa jauh yang cukup kita saksikan. Ini persoalan kemanusiaan yang menuntut kepedulian nyata. Kami ingin membangun kesadaran bahwa solidaritas harus bergerak bersama,” ujar Acep.
Menurutnya, pemuda memiliki peran strategis dalam menggerakkan solidaritas sosial. Namun peran tersebut hanya akan berdampak jika dilakukan secara kolektif, bukan terfragmentasi dalam aksi-aksi individual.
“Ketika bergerak sendiri-sendiri, dampaknya terbatas. Tapi ketika bergerak bersama, solidaritas punya daya dorong yang lebih besar. Prinsip warga bantu warga itulah yang ingin kami hidupkan,” katanya.
Pemilihan panggung seni dan musik sebagai medium penggalangan donasi, lanjut Acep, didasari keyakinan bahwa seni mampu menjembatani sekat-sekat sosial. Melalui seni, pesan kemanusiaan dapat disampaikan secara inklusif tanpa kehilangan daya kritis.
“Dalam selera musik dan seni kita bisa berbeda. Tapi dalam melihat penderitaan sesama, kita seharusnya berdiri di titik yang sama,” ujarnya.
Penggalangan donasi dilakukan sejak awal Desember 2025 secara mandiri oleh masing-masing komunitas, sebelum dipusatkan pada puncak kegiatan di Universitas Perjuangan (Unper) pada 19 Desember 2025. Hingga tanggal tersebut, total donasi yang berhasil dihimpun mencapai lebih dari Rp5,3 juta.
Donasi disalurkan melalui relawan GESIT, yang telah memiliki posko dan jaringan distribusi bantuan di sejumlah wilayah terdampak di Pulau Sumatra, termasuk Aceh. Penyaluran melalui relawan lapangan dipilih untuk memastikan bantuan sampai secara tepat sasaran.
Bencana Bukan Sekadar Musibah Alam
Lebih jauh, Acep menilai bencana yang terjadi tidak bisa semata-mata dipandang sebagai musibah alam. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan serta lemahnya tanggung jawab negara dinilai turut memperparah dampak bencana.
“Ini bukan hanya soal alam, tetapi juga soal ketimpangan ekologis dan pembiaran. Negara seharusnya hadir lebih kuat, karena korban bencana di Sumatra memiliki hak yang sama sebagai warga negara,” tegasnya.
Melalui kegiatan ini, TSM berharap semangat gotong royong dan solidaritas sosial terus tumbuh, khususnya di kalangan pemuda. Meski belum memiliki agenda lanjutan yang pasti, mereka menargetkan gerakan ini dapat berkembang menjadi aksi sosial yang berkelanjutan.
Di tengah minimnya respons struktural, gerakan akar rumput seperti ini menunjukkan bahwa solidaritas masih menjadi kekuatan utama masyarakat. Panggung seni di Tasikmalaya menegaskan bahwa kepedulian bukan hanya soal memberi, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan.






