Gentra.id – Perempuan, cewek, wanita, gadis, apa pun sebutannya, semuanya bermakna sama. Sosok yang menghadirkan kekuatan, kehangatan, dan keberanian dalam hidup manusia. Tapi di balik berbagai sebutan itu, ada satu kata yang sering muncul ketika bicara tentang mereka: feminisme.
Kata ini terdengar akrab di telinga anak muda, terutama di media sosial. Namun, tidak sedikit yang masih salah paham mengira feminisme berarti menentang laki-laki, padahal sejatinya tidak begitu.
Makna dan Asal-usul Kata Feminisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki. Jadi, intinya sederhana: bukan siapa yang lebih unggul, tapi bagaimana perempuan dan laki-laki bisa berdiri sejajar dalam kesempatan dan penghargaan.
Secara etimologis, feminisme berasal dari bahasa Latin femina, yang berarti “perempuan.” Istilah ini berkembang di Prancis menjadi féminisme pada abad ke-19, saat muncul gerakan perempuan menuntut hak suara dan pendidikan. Dari sana, ide kesetaraan menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Beberapa ahli memberikan penjelasan lebih luas. Mansour Fakih menyebut feminisme sebagai kesadaran terhadap ketimpangan gender dan upaya menghapuskan penindasan terhadap perempuan. Sementara Simone de Beauvoir, filsuf asal Prancis, mengatakan,
“Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan.” Ucapannya menegaskan bahwa peran perempuan sering kali dibentuk oleh masyarakat, bukan oleh kodrat alamiah.
Di Indonesia sendiri, semangat feminisme sudah lama tumbuh lewat tokoh-tokoh seperti Raden Adjeng Kartini, yang menulis, “Habis gelap terbitlah terang.” Kalimat itu menggambarkan perjuangan untuk membuka jalan pendidikan dan kebebasan berpikir bagi perempuan. Hal ini Jauh sebelum kata feminisme dikenal luas di sini.
Feminisme di Era Gen Z
Bagi Generasi Z, feminisme punya makna baru. Gerakan ini tidak lagi terbatas pada demonstrasi atau tulisan akademik. Tapi hadir lewat konten digital, unggahan edukatif, hingga kampanye kecil di media sosial. Banyak anak muda yang tidak menyebut diri mereka “feminis,” tapi hidup dengan nilai-nilainya menolak candaan seksis. Menghargai pilihan hidup orang lain, dan berani bersuara saat melihat ketidakadilan.
Namun, di tengah keterbukaan digital, stereotip terhadap perempuan masih ada. Warganet masih sering menilai perempuan dari penampilannya, menekan mereka untuk menikah muda, dan menganggap perempuan ambisius sebagai sosok yang “kurang feminin.” Karena itu, semangat feminisme tetap relevan. Bukan untuk menyaingi laki-laki, tapi untuk memastikan semua orang punya ruang yang setara untuk berkembang.
Feminisme bukan sekadar jargon besar, tapi cerminan dari tindakan kecil yang menegaskan nilai kemanusiaan. Perempuan yang bebas memilih jalannya dan laki-laki yang menghargai tanpa merasa tersaingi membuat feminisme bekerja secara diam-diam namun nyata.






