Rambut Gondrong: Ekspresi Gaya atau Ancaman Negara?

Kamis, 30 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(foto: istimewa)

i

(foto: istimewa)

Gentra.id – Pada awal 1970-an, rambut Panjang atau gondrong menjadi salah satu medan perebutan kuasa simbolik antara pemerintah dan generasi muda. Bagi banyak anak muda Indonesia saat itu, rambut gondrong adalah bentuk ekspresi kebebasan, pengaruh budaya global, dan semangat melawan keteraturan. Namun, bagi rezim Orde Baru, gaya itu dianggap sebagai ancaman terhadap moral, disiplin, dan stabilitas sosial.

Pemerintah memandang rambut panjang bukan sekadar pilihan estetika, tetapi simbol pembangkangan. Ia diasosiasikan dengan pengaruh Barat, hedonisme, dan “penyakit moral” yang dikhawatirkan akan menular pada generasi muda. Dalam pandangan negara, pemuda seharusnya tampil rapi, berambut pendek, dan mencerminkan semangat Pembangunan bukan semangat kebebasan.

Ketika Negara Mengatur Kepala Warganya

Di tengah upaya menanamkan citra keteraturan nasional, pemerintah menjalankan kebijakan yang dikenal dengan “Operasi Rambut Gondrong.” Aparat keamanan turun ke jalan, sekolah, hingga kampus untuk melakukan penyisiran terhadap mereka yang berambut panjang. Banyak anak muda diberhentikan, digunting paksa di tempat umum, bahkan dipermalukan sebagai bentuk penegakan “disiplin moral.”

Kebijakan ini memperlihatkan bagaimana negara berusaha mengontrol tubuh warganya secara langsung. Rambut bagian paling pribadi dari tubuh manusia dijadikan simbol kepatuhan terhadap ideologi negara. Dengan rambut yang seragam dan rapi, pemerintah membangun narasi bahwa keteraturan fisik berarti keteraturan sosial. Tubuh menjadi alat politik, dan kerapihan menjadi moralitas resmi.

Politik Seragam dan Pemuda Pembangunan

Kebijakan anti-gondrong adalah bagian dari proyek politik yang lebih besar: menciptakan “pemuda pembangunan.” Dalam visi Orde Baru, pemuda harus disiplin, produktif, dan tunduk pada nilai-nilai nasionalisme yang diatur negara. Mereka yang tampil berbeda dianggap tidak sopan, tidak beradab, dan tidak memiliki kontribusi bagi pembangunan.

Dengan demikian, pengendalian terhadap gaya rambut bukan sekadar masalah kerapihan, tetapi juga upaya menghapus bentuk-bentuk ekspresi individual. Rambut gondrong menjadi metafora bagi perlawanan terhadap seragam pikiran dan seragam perilaku yang ingin dibangun oleh negara. Di mata penguasa, setiap helai rambut panjang bisa menjadi simbol ketidaktaatan.

Rambut Sebagai Medan Ideologisn

Dari sini, kita bisa melihat bagaimana politik tubuh bekerja. Negara tidak hanya mengatur kebijakan ekonomi atau keamanan, tetapi juga menanamkan ideologi melalui tubuh warganya. Rambut gondrong menjadi batas antara “yang tertib” dan “yang menyimpang.” Ia bukan lagi soal mode, melainkan alat kategorisasi sosial: siapa yang dianggap baik, siapa yang harus diawasi.

Bagi sebagian pemuda saat itu, mempertahankan rambut panjang adalah bentuk perlawanan kecil. Sebuah cara untuk mengatakan bahwa diri mereka tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh sistem yang menuntut keseragaman. Gaya rambut menjadi pernyataan diam tentang kebebasan berpikir dan kebebasan menjadi diri sendiri sebuah sikap yang di masa itu bisa dibayar mahal.

Meskipun rezim Orde Baru telah berakhir, warisan pengawasan terhadap tubuh belum sepenuhnya hilang. Di banyak ruang sosial, terutama di sekolah dan instansi publik, standar kerapihan masih sering dikaitkan dengan moralitas. Rambut panjang kadang tetap dipandang sebagai simbol kemalasan atau pemberontakan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kontrol terhadap tubuh bukan sekadar kebijakan masa lalu, tetapi kebiasaan sosial yang terus berlanjut. Apa yang dulu diciptakan oleh kekuasaan, kini diwariskan menjadi norma. Rambut gondrong mungkin tidak lagi dianggap kriminal, tapi sisa logika yang mengaitkan “rambut pendek dengan kepatuhan” masih hidup dalam banyak kepala.

Fenomena rambut gondrong di era Orde Baru mengajarkan bahwa kekuasaan dapat menyusup ke hal paling pribadi dari manusia tubuhnya. Ketika negara merasa berhak menentukan bagaimana seseorang harus berpenampilan, maka sesungguhnya yang dikendalikan bukan hanya gaya, tetapi kebebasan berpikir dan bertindak.

Kini, ketika rambut gondrong tidak lagi dianggap subversif, penting bagi kita untuk tetap waspada terhadap bentuk-bentuk baru dari penyeragaman. Sebab kontrol atas tubuh adalah langkah pertama menuju kontrol atas pikiran.

Rambut gondrong bukan sekadar sejarah gaya anak muda tahun 1970-an. Ia adalah simbol tentang bagaimana kebebasan pernah dipangkas, huruf demi huruf, helai demi helai dan bagaimana kita, di masa kini, harus terus memastikan bahwa kepala kita sepenuhnya milik kita sendiri.

Follow WhatsApp Channel gentra.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Inovasi Manajemen Mutu Halal Unsil Raih Prestasi Nasional
Rain Therapy: 7 Manfaat Mendengarkan Suara Hujan bagi Kesehatan Mental
Menikmati Hujan Tanpa Drama: 8 Aktvitas Seru di Rumah yang Tetap Produktif
Kalau Nggak Ada Screenshot Siapa yang Percaya?
Career Napping: Seni Berhenti Sejenak agar Kariermu Melaju Lebih Jauh
Perempuan dan di Balik Kata Feminisme
Gen Z dan Fenomena Avoidant Attachment di Media Sosial
POV Gen Z Tingkat Akhir Tentang Arti Someone to Talk

Berita Terkait

Rabu, 12 November 2025 - 16:19 WIB

Inovasi Manajemen Mutu Halal Unsil Raih Prestasi Nasional

Senin, 10 November 2025 - 22:03 WIB

Rain Therapy: 7 Manfaat Mendengarkan Suara Hujan bagi Kesehatan Mental

Minggu, 9 November 2025 - 15:49 WIB

Menikmati Hujan Tanpa Drama: 8 Aktvitas Seru di Rumah yang Tetap Produktif

Sabtu, 8 November 2025 - 17:46 WIB

Kalau Nggak Ada Screenshot Siapa yang Percaya?

Sabtu, 8 November 2025 - 06:49 WIB

Career Napping: Seni Berhenti Sejenak agar Kariermu Melaju Lebih Jauh

Berita Terbaru

Mahkamah Konstitusi menegaskan Polisi Aktif  dilarang menduduki jabatan sipil (Inews.id)

Berita

MK Tegaskan Larangan Polisi Aktif Jadi Pejabat Sipil

Senin, 17 Nov 2025 - 10:01 WIB