Penambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung, Tasikmalaya, semakin menjadi sorotan publik. Alih-alih menjadi solusi pembangunan, aktivitas tambang ini justru menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan, infrastruktur, dan kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Di tengah krisis iklim dan ancaman bencana ekologis, mempertahankan eksploitasi tambang ini adalah pilihan yang tidak bijak. Diperlukan langkah solutif berbasis keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Kerusakan Ekosistem yang Mengancam Kehidupan
Gunung Galunggung bukan sekadar kawasan vulkanik biasa. Ia merupakan bagian dari lanskap ekologis penting di Priangan Timur yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, pengendali lahar, dan penyangga bencana. Namun, lebih dari 8 hektare area resapan air telah rusak akibat aktivitas tambang pasir yang tak terkendali (Tempo, 2023).
Menurut Dr. Ujang Soleh, pakar geologi dari Universitas Padjadjaran, aktivitas penambangan di kaki gunung api aktif seperti Galunggung meningkatkan potensi bencana lahar dingin dan banjir bandang. “Kalau morfologi lereng sudah rusak, tidak ada yang menahan aliran lumpur saat hujan deras atau erupsi. Ini sangat berisiko bagi desa-desa di hilir,” ujarnya.
Bukan hanya itu, pencemaran air akibat pencucian pasir telah merusak kualitas Sungai Cibanjaran dan Cikunir. Air menjadi keruh, produktivitas perikanan air tawar menurun, dan ratusan hektare sawah gagal panen (CNN Indonesia, 2023).
Infrastruktur Rusak, Warga Menjerit
Jalan-jalan desa di Kecamatan Sukaratu dan Cisayong kini penuh lubang dan retak akibat dilewati truk-truk tambang overweight. Pemerintah daerah telah mengeluarkan surat larangan, tetapi pengawasan lemah dan minimnya ketegasan aparat membuat larangan ini tidak efektif. Dampaknya bukan hanya pada ekonomi, tapi juga keselamatan. Beberapa tanggul bekas letusan Galunggung tahun 1982 bahkan ikut rusak karena galian liar.
Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Galunggung (GMPG), Riza Rizaldi, menuturkan bahwa masyarakat telah berkali-kali menolak tambang sejak 2012. “Kami tidak anti pembangunan. Tapi pembangunan tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan adalah penghancuran, bukan kemajuan,” tegasnya.
Legalitas Tak Menjamin Kelestarian
Memang, sebagian aktivitas tambang di Galunggung mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi hingga 2029. Namun, legalitas bukan satu-satunya tolok ukur keberlanjutan. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan seluruh kegiatan usaha untuk melakukan kajian dampak lingkungan (AMDAL) secara menyeluruh.
Ironisnya, sejumlah perusahaan tambang belum memiliki dokumen reklamasi dan pascatambang yang memadai. Padahal, Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 menegaskan bahwa setiap pelaku usaha tambang wajib mengembalikan fungsi ekologis lahan usai dieksploitasi. Ini menjadi bukti lemahnya pengawasan dan akuntabilitas dari pemerintah.
Solusi: Rehabilitasi dan Ekonomi Hijau Berbasis Komunitas
Pertama, pemerintah daerah dan pusat harus segera melakukan moratorium atau penghentian sementara seluruh aktivitas tambang pasir di kawasan Galunggung. Langkah ini penting untuk mengevaluasi dampak lingkungan, memperbaiki tata ruang, dan menghindari bencana ekologis yang lebih besar.
Kedua, perlu dilakukan audit lingkungan independen oleh lembaga akademik dan LSM lingkungan seperti WALHI atau Ecoton. Hasil audit ini bisa menjadi dasar hukum bagi pencabutan IUP bermasalah serta pemulihan kawasan kritis.
Ketiga, pemerintah wajib mendorong reklamasi kawasan tambang dengan memaksa perusahaan menunaikan kewajiban pascatambang. Selain itu, pembangunan sistem filtrasi limbah tambang agar tidak mencemari aliran sungai harus segera diwujudkan.
Keempat, sudah saatnya Tasikmalaya mengembangkan alternatif ekonomi hijau. Potensi besar yang belum tergarap adalah sektor agrowisata dan geopark. Gunung Galunggung sendiri merupakan kandidat geopark nasional yang bisa menjadi sumber devisa tanpa merusak lingkungan.
Menurut Dr. Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Ekonomi berbasis keanekaragaman hayati dan geodiversity seperti geopark terbukti lebih tangguh dalam jangka panjang. Ini pilihan rasional di tengah ancaman krisis iklim.”
Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi, pelaku UMKM, dan kelompok tani lokal untuk mengembangkan kawasan edukasi lingkungan, wisata alam, dan pertanian organik. Solusi ini terbukti berhasil di kawasan lain seperti Geopark Ciletuh (Sukabumi) dan Geopark Batur (Bali).
Penutup
Penambangan pasir di Gunung Galunggung adalah potret kelalaian kebijakan dan kerakusan yang mengorbankan masa depan lingkungan dan generasi mendatang. Pilihannya kini jelas: melanjutkan eksploitasi hingga bencana datang, atau memulai transformasi menuju ekonomi hijau berbasis konservasi. Waktu untuk bertindak adalah sekarang.