Rp 200 Miliar dan Krisis Kepercayaan: Media Tak Lagi Satu-satunya Penjaga Kebenaran

Selasa, 11 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Aksi solidaritas untuk Tempo (foto: Ilustrasi)

i

Aksi solidaritas untuk Tempo (foto: Ilustrasi)

Gentra.id — Dalam setahun terakhir, langkah Tempo di jalur pemberitaan terasa semakin berat. Mulai dari menerima somasi dan gugatan hingga menghadapi teror simbolik berupa kiriman kepala babi ke kantor redaksi pada awal tahun. Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan bahwa ruang kebebasan pers di Indonesia semakin terhimpit. Sementara keberanian mengungkap kebenaran kini menuntut risiko yang lebih besar. Gugatan Menteri Pertanian terhadap Tempo bukan sekadar persoalan hukum. Tetapi ujian baru bagi batas antara kritik, kebebasan, dan kekuasaan.

Gugatan Terbaru: Publik Menggugat Kritik Melalui Jalur Perdata

Tempo mempublikasikan sebuah poster yang kemudian memicu gugatan senilai Rp 200 miliar. Dalam hal ini pihak penggugat tidak sekadar menuntut pemulihan nama baik. Tetapi juga menantang posisi media sebagai penjaga kebenaran publik.

Pada 1 Juli 2025, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL. Tergugat adalah PT Tempo Inti Media Tbk, penerbit majalah Tempo, terkait artikel dan poster edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-Poles Beras Busuk.”

Penggugat menilai pemberitaan Tempo merugikan dan menuduh media tersebut melakukan perbuatan melawan hukum. Sementara itu, berbagai asosiasi jurnalis menilai gugatan ini berpotensi menimbulkan efek jera terhadap fungsi kontrol sosial pers.

Dari Etika ke Hukum: Pergeseran Mekanisme Sengketa Pers

Selama ini, dalam penyelesaian sengketa, seharusnya di selesaikan melalui mekanisme etik di Dewan Pers. Namun, dalam kasus ini, penggugat memilih langsung menempuh jalur pengadilan perdata. Sejumlah pihak menilai langkah ini sebagai strategi hukum untuk membungkam kritik publik, atau yang dikenal sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP).

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai gugatan besar ini sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kementerian Pertanian menegaskan bahwa pemerintah tetap menghormati kebebasan pers, tetapi menuntut agar kebebasan itu disertai dengan akuntabilitas.

“Jika pemberitaan benar, pengadilan akan membuktikannya. Jika tidak, publik berhak tahu,” bunyi pernyataan resmi kementerian.

Sengketa pers di Indonesia sejatinya memiliki dua jalur penyelesaian: mekanisme etik melalui Dewan Pers dan mekanisme hukum melalui pengadilan. Kasus Tempo memperlihatkan bagaimana penyelesaian sengketa pers mulai bergeser ke jalur hukum, dan banyak pihak khawatir tren ini akan menjadi preseden bagi media lain di masa depan.

Gelombang Solidaritas untuk Tempo

Di tengah proses hukum yang berjalan, gelombang solidaritas untuk Tempo muncul dari berbagai daerah. Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, serta komunitas media kampus dan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di Jakarta dan sejumlah kota pada akhir Oktober 2025.

Dalam aksi bertajuk “Lawan Pembungkaman, Bela Kebebasan Pers,” para jurnalis mengibarkan spanduk dengan tulisan “Kebenaran Tidak Bisa Digugat.” Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menegaskan bahwa gugatan ini tidak hanya menyangkut Tempo, tetapi juga menentukan masa depan jurnalisme kritis di Indonesia.

Solidaritas juga muncul dari daerah, termasuk Tasikmalaya. Sejumlah jurnalis lokal Tasikmalaya menilai bahwa tren intimidasi terhadap media, baik dalam bentuk gugatan maupun ancaman, menunjukkan kemunduran kebebasan berekspresi di Indonesia.

“Kasus ini menunjukkan bagaimana ruang kritik publik makin sempit. Jika Tempo saja bisa digugat dengan angka sebesar itu, maka media di daerah dan pers mahasiswa bisa merasa tak aman untuk bersuara,” ujar Usama Ahmad rizal, Jurnalis Tasikmalaya.

Dukungan serupa datang dari Asosiasi Pers Mahasiswa Priangan Timur, yang menilai bahwa gugatan terhadap Tempo mencerminkan gejala menyempitnya ruang kritis di lingkungan akademik maupun media kampus.

“Apa yang dialami Tempo menjadi alarm bagi pers mahasiswa, banyak redaksi muda kini ragu menulis isu-isu sensitif karena takut dianggap melawan arus kekuasaan,” ujar Koordinator Asosiasi Pers Mahasiswa Priangan Timur, Ali Irfan.

Solidaritas di daerah menegaskan bahwa isu kebebasan pers kini bukan lagi milik media besar semata, tetapi menjadi tanggung jawab moral seluruh komunitas jurnalis dan publik di tingkat lokal.

Tekanan terhadap media kini tidak hanya datang dari kepemilikan atau sensor politik, melainkan juga dari ancaman hukum dan finansial. Gugatan bernilai besar membuat banyak redaksi lebih berhati-hati, bahkan menahan liputan yang berpotensi memicu konflik hukum.

Dokumentasi AJI Indonesia mencatat, sebagian jurnalis mengaku bahwa keputusan redaktur kini lebih sering memperhitungkan risiko gugatan ketimbang aspek jurnalistik. Fenomena ini menggambarkan bentuk self-censorship halus. Ketika rasa waswas di dalam ruang redaksi menumbuhkan pembungkaman dari dalam diri para jurnalis sendiri.

Menurunnya Kepercayaan terhadap Media

Survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 menunjukkan bahwa 51 persen publik Indonesia masih mempercayai jurnalis.  Sementara survei Dewan Pers pada tahun yang sama menunjukkan skor Indeks Kebebasan Pers nasional berada di angka 69,36 atau kategori “cukup bebas,” turun sekitar 2,21 poin dari tahun sebelumnya.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa media masih memiliki legitimasi, namun kepercayaan dan kebebasan yang menopangnya kini mulai tergerus.

Kasus gugatan Rp 200 miliar terhadap Tempo bukan hanya persoalan nama baik satu media. Ia menjadi simbol dari krisis kepercayaan yang lebih luas terhadap media di era informasi yang penuh kebisingan.

Beberapa hal penting muncul dari kasus ini:

  • Preseden hukum:Jika pengadilan mengabulkan gugatan ini, keputusan itu dapat menjadi acuan bagi munculnya gugatan serupa di masa depan.
  • Legitimasi media: Ancaman hukum dapat melemahkan independensi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap media.
  • Publik sebagai penjaga kebenaran baru: Di era media sosial, publik turut menentukan narasi dan kredibilitas informasi.
  • Mekanisme penyelesaian: Perlu evaluasi terhadap peran Dewan Pers agar sengketa jurnalistik tidak selalu berakhir di meja hijau.

Di tengah pergeseran dari etika menuju pengadilan, media menghadapi dilema besar. Apakah tetap menjadi penjaga kebenaran, atau sekadar satu suara di antara banyak sumber informasi yang bersaing. Di era algoritma, data, dan opini terbuka. Pertanyaan paling penting mungkin bukan lagi “siapa yang memberi tahu kita kebenaran,” melainkan “siapa yang masih kita percaya ketika kita mencarinya.”

 

Follow WhatsApp Channel gentra.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Jarum Demokrasi Tolak Penganugerahan Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Rayakan Ulang Tahun yg ke 18 dengan Keberkahan: Plaza Asia Hadiahkan Umroh Gratis untuk Pelanggan Setia
Sarasehan Kebangsaan Jadi Ruang Temu Polisi dan Masyarakat Sipil
Kompolnas RI Puji Langkah Kapolres Tasikmalaya Kota Bangun Kepercayaan Publik
Selama Menjabat Kapolres Faruk Telah Sapa Sekitar 35 ribu Santri di 176 Pondok Pesantren
Peluncuran APM Priatim Tegaskan Komitmen Kolaborasi Pers Kampus Priangan Timur
Kecaman Santri Kepada Trans7 Mengalir Hingga Tasikmalaya
KPAD Dorong Pesantren Ramah Anak di Bungursari

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 21:13 WIB

Jarum Demokrasi Tolak Penganugerahan Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Selasa, 11 November 2025 - 16:00 WIB

Rp 200 Miliar dan Krisis Kepercayaan: Media Tak Lagi Satu-satunya Penjaga Kebenaran

Selasa, 4 November 2025 - 16:20 WIB

Rayakan Ulang Tahun yg ke 18 dengan Keberkahan: Plaza Asia Hadiahkan Umroh Gratis untuk Pelanggan Setia

Senin, 27 Oktober 2025 - 18:16 WIB

Sarasehan Kebangsaan Jadi Ruang Temu Polisi dan Masyarakat Sipil

Minggu, 26 Oktober 2025 - 18:34 WIB

Kompolnas RI Puji Langkah Kapolres Tasikmalaya Kota Bangun Kepercayaan Publik

Berita Terbaru

Foto Ilustrasi

Artikel

Kalau Nggak Ada Screenshot Siapa yang Percaya?

Sabtu, 8 Nov 2025 - 17:46 WIB