Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Di Indonesia, perayaan ini kerap diwarnai dengan aksi turun ke jalan, menyuarakan tuntutan tentang upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak. Namun, ada satu kelompok yang sering luput dari sorotan: para pekerja outsourcing dan gig worker.
Mereka adalah penggerak ekonomi harian, namun tak pernah benar-benar diakui sebagai bagian dari sistem ketenagakerjaan yang adil.
Di balik efisiensi yang sering dibanggakan perusahaan, outsourcing menyisakan realitas pahit: pekerja yang statusnya tidak pasti, rentan diputus hubungan kerja, dan minim perlindungan hukum.
Di sisi lain, maraknya gig economy yang digerakkan oleh platform digital seperti ojek online, jasa antar makanan, hingga pekerja lepas berbasis aplikasi juga menciptakan lapisan baru dalam dunia kerja: mereka bekerja penuh waktu, tapi tak dianggap karyawan.
Outsourcing: Solusi Korporat, Duka bagi Buruh
Outsourcing atau alih daya pada awalnya diperkenalkan sebagai strategi efisiensi. Perusahaan tidak perlu repot merekrut, mengelola, atau membayar tunjangan kepada pekerja yang tugasnya dianggap “non-inti” seperti satpam, petugas kebersihan, hingga call center. Semua dibebankan pada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
Namun, praktiknya jauh dari ideal. Banyak buruh outsourcing yang dipekerjakan bertahun-tahun tanpa kejelasan status, bergaji di bawah standar, dan kerap dipecat begitu saja tanpa pesangon. Mereka tidak punya daya tawar karena statusnya sebagai “pegawai pihak ketiga”.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 memang pernah menegaskan bahwa sistem outsourcing harus memenuhi prinsip kepastian hukum dan perlindungan. Namun kenyataan di lapangan berkata lain: banyak buruh outsourcing yang bekerja secara tetap di perusahaan pengguna, tapi tak pernah diangkat sebagai karyawan.
Gig Worker: Fleksibel Tapi Rentan
Masuknya teknologi digital mengubah wajah dunia kerja. Kini, seseorang bisa bekerja kapan saja, di mana saja, tanpa harus terikat jam kantor. Tapi di balik fleksibilitas itu, gig worker—seperti driver ojek online, kurir, hingga freelancer digital—menghadapi kenyataan yang mirip bahkan lebih buruk dari pekerja outsourcing.
Mereka bukan karyawan, hanya “mitra”. Konsekuensinya, mereka tidak berhak atas upah minimum, cuti, jaminan kecelakaan kerja, atau jaminan hari tua. Padahal, beban kerja mereka tak kalah berat. Mereka harus menyetor komisi ke platform, menanggung risiko di jalan, dan menghadapi sanksi sepihak jika sistem menilai kinerja mereka “buruk”.
Ironisnya, meski status hukum gig worker masih kabur, kontribusi mereka sangat nyata. Ekonomi digital Indonesia tak akan bergerak tanpa mereka. Riset dari Katadata Insight Center (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 60% konsumen di kota besar mengandalkan layanan berbasis aplikasi setiap minggunya. Di balik kenyamanan itu, ada peluh para pekerja tanpa kepastian.
Di Mana Peran Negara?
Pertanyaannya kini: di mana negara dalam melindungi mereka? UU Ketenagakerjaan saat ini belum mampu menjangkau kebutuhan spesifik para gig worker. Sementara RUU Perlindungan Pekerja Digital yang sempat dibahas, tak kunjung menemukan bentuk finalnya. Ketiadaan regulasi membuat platform digital berada di zona abu-abu.
Mereka bisa mengatur dan mengontrol mitranya layaknya atasan, tapi lepas tangan soal kewajiban sebagai pemberi kerja. Ini menciptakan bentuk baru eksploitasi yang dibalut jargon “kemitraan”.
Buruh outsourcing dan gig worker sama-sama menghadapi satu masalah pokok: status kerja yang tidak jelas. Ini membuat mereka tidak memiliki posisi tawar untuk menuntut hak secara adil. Dalam situasi seperti ini, peran negara menjadi kunci. Negara harus hadir untuk menetapkan regulasi yang berpihak pada pekerja, bukan sekadar mengikuti arus kepentingan korporasi atau logika pasar.
Momen Hari Buruh: Saatnya Mengoreksi Arah
Hari Buruh bukan hanya perayaan, tapi juga refleksi. Sudah terlalu lama kita membiarkan sistem kerja yang tak adil ini berjalan. Perusahaan mendapat efisiensi, konsumen mendapat kenyamanan, tapi para pekerja dibayar murah dan hidup dalam ketidakpastian.
Maka, Hari Buruh 2025 harus menjadi momentum untuk mengangkat isu pekerja outsourcing dan gig worker ke permukaan. Sudah saatnya negara merumuskan regulasi yang mengakui mereka sebagai bagian dari struktur ketenagakerjaan yang sah, dengan perlindungan hukum yang setara.
Serikat buruh juga perlu memperluas jangkauan perjuangannya, tidak hanya pada buruh pabrik atau sektor formal. Mereka harus merangkul buruh gig dan outsourcing yang selama ini tercerai-berai, tanpa tempat bersuara.
Mereka mungkin tak mengenakan seragam, tak punya kartu pegawai, dan tak hadir di ruang rapat manajemen. Tapi tanpa mereka, roda ekonomi ini akan terseok. Maka, mari kita rayakan Hari Buruh tahun ini dengan menyuarakan keberpihakan pada mereka—para pekerja tanpa status, yang selama ini tetap setia bekerja.