Menjelang perayaan Hari Raya Idulfitri, fenomena organisasi kemasyarakatan (ormas) yang meminta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pelaku usaha atau masyarakat kembali mencuat. Praktik ini sering menimbulkan keresahan, terutama jika disertai dengan tekanan atau intimidasi.
Para ahli dan tokoh masyarakat menyoroti fenomena ini dari berbagai perspektif, menawarkan pandangan kritis serta solusi untuk mengatasinya.
Pandangan Ahli dan Tokoh Masyarakat
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Muhammad Cholil Nafis, menegaskan bahwa tindakan meminta THR adalah perilaku tidak terpuji. Menurutnya, hadiah atau pemberian seharusnya diberikan atas dasar rasa cinta dan suka, bukan karena permintaan atau paksaan.
Ia menambahkan bahwa dalam Islam, terdapat konsep ‘iffah’, yaitu menahan diri meskipun membutuhkan, dan tidak meminta-minta. Jika seseorang diberi pemberian tanpa meminta, maka itu boleh diterima. Namun, meminta dengan menyebutkan nominal tertentu dapat dianggap sebagai pemungutan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dari sudut pandang sosiologis, dosen Departemen Sosiologi Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor, mempertanyakan legitimasi ormas yang meminta THR. Ia menekankan bahwa ormas biasanya dibentuk berdasarkan kesamaan latar belakang atau identitas tertentu dan seharusnya didukung oleh iuran anggotanya.
Permintaan THR kepada masyarakat atau pelaku usaha tanpa kontribusi nyata kepada lingkungan sekitar dianggap tidak memiliki dasar yang kuat. Ida juga menyoroti bahwa jika ormas merasa layak mendapatkan THR, seharusnya ada koordinasi dengan pihak berwenang untuk menghindari gesekan antarormas dan keresahan di masyarakat.
Tindakan Hukum dan Penegakan Aturan
Pihak kepolisian menegaskan bahwa ormas tidak diperbolehkan meminta THR dengan cara memaksa atau mengintimidasi. Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, menyatakan bahwa tindakan tersebut dapat dikenakan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan, yang ancaman hukumannya mencapai sembilan tahun penjara. Ia mengimbau masyarakat untuk melaporkan jika ada ormas yang melakukan pemaksaan dalam meminta THR.
Senada dengan itu, Polri menekankan bahwa meminta THR tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Jika ada unsur tekanan atau intimidasi, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan akan ditindak tegas. Polri juga mengimbau aparat di wilayah untuk merangkul ormas dan mencegah tindakan yang melanggar hukum.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi fenomena ormas meminta THR, diperlukan pendekatan yang komprehensif:
Penegakan Hukum yang Tegas:
Aparat penegak hukum harus menindak tegas ormas yang melakukan pemerasan atau tindakan premanisme. Penerapan sanksi hukum yang berat, termasuk pencabutan izin bagi ormas berbadan hukum yang melanggar, dapat memberikan efek jera.
Regulasi dan Pengawasan:
Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang jelas mengenai aktivitas ormas, termasuk larangan meminta sumbangan tanpa izin resmi. Pengawasan terhadap aktivitas ormas harus ditingkatkan untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
Edukasi dan Pemberdayaan:
Masyarakat perlu diedukasi mengenai hak dan kewajiban terkait permintaan sumbangan oleh ormas. Pemberdayaan ormas melalui pelatihan dan pembinaan dapat mengarahkan mereka untuk berkontribusi positif tanpa mengandalkan praktik meminta-minta.
Pelaporan dan Perlindungan:
Masyarakat dan pelaku usaha harus didorong untuk melaporkan tindakan pemerasan oleh ormas. Perlindungan bagi pelapor perlu dijamin untuk mencegah intimidasi atau balasan dari pihak yang dilaporkan.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan fenomena ormas meminta THR dapat diminimalisir, menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi masyarakat serta pelaku usaha.