Akivisme di Indonesia selalu menemukan wajahnya sesuai zaman, pada era reformasi 1998, mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menuntut perubahan saat itu, ruang kebebasan politik begitu sempit sehingga jalanan menjadi satu-satunya ruang artikulasi aspirasi rakyat.
Ribuan mahasiswa turun ke Senayan, menduduki gedung DPR, dan menghadapi represi aparat, nama-nama seperti Adian Napitupulu, Budiman Sudjatmiko, Faisal Basri, hingga Fadli Zon muncul sebagai tokoh moral, disertai ribuan aktivis lain yang tak tercatat sejarah.
Banyak di antara mereka ditangkap, diintimidasi, bahkan hilang, aktivisme kala itu identik dengan pengorbanan fisik dan keberanian menghadapi kekuasaan secara langsung, Hasilnya monumental: tumbangnya Orde Baru dan lahirnya era reformasi.
Kini wajah aktivisme berubah, dari gerakan offline menuju gerakan online semangat perubahan tak pernah padam, hanya panggungnya yang berbeda, media sosial kini menjadi ruang baru perlawanan.
Media sosial mengubah cara masyarakat menyampaikan gagasan, jika dulu harus menunggu liputan media arus utama, kini satu unggahan di Instagram, TikTok, atau X bisa menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik.
Aktivis Influencer pun bermunculan, Awkarin misalnya, beralih dari selebgram kontroversial menjadi penggalang dana kemanusiaan dan kampanye sosial, Cania Citta memanfaatkan ruang digital untuk mengajak generasi muda peduli pada demokrasi, Ferry Irwandi, dengan kritik tajamnya terhadap kebijakan pemerintah, berhasil mengguncang percakapan publik.
Aktivisme kini hadir bukan hanya lewat pengeras suara, tetapi juga melalui data, riset, dan analisis yang dikemas secara populer, baik infografis hingga video pendek, menyederhanakan isu kompleks menjadi mudah dipahami publik.
Kreativitas konten membuat pesan masuk ke percakapan sehari-hari, dan dapat diakses pelajar, pekerja, ibu rumah tangga, hingga masyarakat desa.
Dampaknya nyata, media sosial terbukti mampu memobilisasi opini sekaligus aksi, gerakan #ReformasiDikorupsi tidak hanya memadati jalanan, tetapi juga menjadi trending topic di media sosial.
Tagar #IndonesiaGelap, sebagai protes terhadap pembatasan kebebasan pers, dalam hitungan hari digunakan ribuan kali hingga memaksa pejabat memberi klarifikasi.
Begitu pula #PeringatanDarurat yang menyulut diskusi publik dan membuka ruang partisipasi generasi muda, media sosial, dengan demikian, bukan sekadar ruang ekspresi, tetapi instrumen tekanan politik yang efektif.
Namun, represi tidak pernah hilang, hanya berganti bentuk, jika dulu hadir lewat pembubaran aksi atau penangkapan di jalan, kini ia menjelma lewat regulasi digital, khususnya UU ITE.
Amnesty International Indonesia mencatat, sejak 2018 hingga pertengahan 2025, ada 758 orang di 38 provinsi menjadi korban kriminalisasi UU ini.
Kasus Ferry Irwandi yang beberapa kali di laporkan ke polisi menjadi contoh nyata bagaimana aktivisme digital tetap rawan, ancaman kriminalisasi, pelaporan, hingga serangan daring kerap menghantui para penggeraknya.
Fenomena aktivisme digital juga tak terbatas di Jakarta dan kota besar, di Tasikmalaya misalnya, muncul komunitas literasi, gerakan lingkungan, dan forum diskusi yang memanfaatkan media sosial untuk mengangkat isu pendidikan, kebijakan daerah, hingga kampanye sosial bagi masyarakat kecil.
Suara lokal yang dulu terkungkung lingkaran sempit kini bisa menggema ke tingkat nasional bahkan global.
Wajah baru aktivisme memang berbeda dari masa lalu, tetapi esensinya tetap sama, memperjuangkan keadilan dan menyuarakan kebenaran, perubahan selalu menuntut suara publik, hanya caranya yang menyesuaikan zaman.
Generasi reformasi menumbangkan rezim lewat demonstrasi, sementara generasi digital menekan kebijakan lewat trending topik dan gelombang opini.
Meski dihadapkan pada ancaman UU ITE dan kriminalisasi, aktivisme akan selalu menemukan jalannya, baik di jalanan maupun di linimasa, semangat melawan ketidakadilan tidak pernah padam.