Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras pertemuan tertutup yang digelar oleh pemerintah dan DPR dalam rangka membahas percepatan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Pertemuan yang berlangsung pada 14-15 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta, tersebut dinilai minim transparansi serta tidak melibatkan partisipasi publik secara luas.
Menurut wakil koordinator Kontras dan perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Andri Yunus, langkah ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Mereka menilai bahwa pembahasan RUU yang memiliki dampak besar terhadap tata kelola pertahanan negara seharusnya dilakukan secara terbuka, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan akademisi.
Kritik Terhadap Substansi RUU TNI
Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti beberapa poin dalam RUU TNI yang dianggap bermasalah, terutama terkait kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI. Dalam rancangan revisi ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan personel TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai sektor pemerintahan.
Mereka berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip reformasi yang telah berjalan sejak era pasca-Orde Baru. Reformasi TNI yang telah berlangsung sejak 1998 bertujuan untuk memastikan bahwa militer tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik maupun urusan sipil.
Namun, dengan adanya ketentuan baru dalam revisi UU TNI ini, ada kekhawatiran bahwa militer akan kembali memiliki peran dominan dalam kehidupan sipil.
Selain itu, Koalisi menyoroti bahwa perluasan penempatan TNI dalam jabatan sipil berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Salah satunya adalah eksklusi masyarakat sipil dalam jabatan pemerintahan yang seharusnya tidak diisi oleh militer.
Kehadiran militer dalam struktur pemerintahan sipil juga dapat menyebabkan loyalitas ganda serta menghambat prinsip demokrasi dan akuntabilitas.
Minim Transparansi dalam Pembahasan
Selain substansi RUU yang dipermasalahkan, Koalisi juga mengkritik metode pembahasannya. Rapat yang digelar secara tertutup di hotel mewah menunjukkan minimnya transparansi dalam proses legislasi ini.
Koalisi menilai bahwa seharusnya pemerintah dan DPR membuka ruang diskusi yang lebih luas agar masyarakat dapat turut mengawal perubahan regulasi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan bernegara. Dengan menggelar rapat di tempat eksklusif tanpa akses bagi publik, ada kekhawatiran bahwa keputusan yang diambil tidak akan merepresentasikan kepentingan masyarakat luas, melainkan hanya mengakomodasi kepentingan segelintir pihak tertentu.
Dalam aksinya, sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil bahkan mencoba memasuki ruang rapat yang digunakan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR untuk membahas revisi UU TNI. Mereka menggedor pintu ruang rapat dan meneriakkan tuntutan agar pembahasan RUU ini dihentikan.
Mereka juga menolak kembalinya dwifungsi ABRI dan mengecam proses pembahasan yang dilakukan secara diam-diam. Para aktivis menegaskan bahwa proses penyusunan regulasi yang menyangkut keamanan negara harus dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR.
Sorotan terhadap Pemborosan Anggaran
Selain permasalahan transparansi, Koalisi juga mengkritik keputusan pemerintah dan DPR yang menggelar rapat di hotel bintang lima. Menurut mereka, langkah ini bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang saat ini sedang didorong oleh pemerintah.
Dalam situasi di mana anggaran negara mengalami tekanan, mengadakan pertemuan di tempat yang mewah dinilai sebagai bentuk pemborosan. Mereka menekankan bahwa dana yang digunakan untuk rapat di hotel mahal seharusnya dialokasikan untuk hal yang lebih bermanfaat, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur publik.
Koalisi juga menilai bahwa tindakan ini mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi masyarakat. Di tengah upaya pemangkasan anggaran di berbagai sektor, mengadakan rapat di tempat eksklusif justru memperlihatkan adanya ketimpangan dalam penggunaan dana publik.
Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil
Menanggapi berbagai permasalahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah dan DPR. Mereka meminta agar pembahasan revisi UU TNI dihentikan sampai ada transparansi yang lebih baik dalam prosesnya.
Koalisi juga mendesak agar pemerintah dan DPR membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dalam membahas RUU ini. Mereka menegaskan bahwa keputusan mengenai tata kelola pertahanan negara bukan hanya menjadi urusan pemerintah dan DPR, tetapi juga menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, mereka meminta agar ketentuan yang memungkinkan TNI aktif menduduki jabatan sipil dihapus dari revisi UU TNI. Menurut mereka, militer seharusnya tetap fokus pada tugas utamanya dalam menjaga pertahanan negara, tanpa terlibat dalam urusan pemerintahan sipil.
Koalisi juga meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam menggunakan anggaran negara, termasuk dalam memilih tempat rapat dan forum diskusi.
Mereka berharap agar pemerintah lebih mengutamakan efisiensi anggaran demi kepentingan masyarakat luas.
Kontroversi terkait revisi UU TNI semakin memanas setelah adanya rapat tertutup yang digelar di hotel mewah. Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa keputusan ini tidak hanya menunjukkan kurangnya transparansi, tetapi juga mencerminkan ketimpangan dalam penggunaan anggaran negara.
Selain itu, substansi dari RUU ini juga dianggap bermasalah, terutama karena berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan mengancam prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa pembahasan RUU ini harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.
Mereka berharap agar pemerintah dan DPR dapat mendengar aspirasi masyarakat dan mengedepankan prinsip demokrasi serta tata kelola pemerintahan yang baik dalam proses legislasi yang sedang berjalan.