Fenomena pemburu rente bukanlah barang baru dalam sejarah politik Indonesia. Dari orde baru hingga reformasi, wajahnya terus bertransformasi. Jika dulu tampil dengan gaya birokratis, kaku, dan kasar, kini mereka hadir lebih modern.
Mereka mengenakan jas rapi, berbicara dengan jargon demokrasi, bahkan membungkus narasi dengan dalih keberpihakan pada rakyat. Namun esensinya tetap sama, menjadikan kekuasaan sebagai ladang rente.
Ironisnya, sebagian besar praktik itu justru berlangsung di ruang-ruang yang mestinya menjadi motor perubahan, seperti organisasi, gerakan sosial, hingga komunitas aktivis muda.
Salah satu wajah paling telanjang dari politik rente adalah praktik yang sering disebut ‘harga diam’, kita kerap menyaksikan bagaimana sebuah kritik atau protes yang awalnya lantang, tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan.
Di balik senyap itu, ada negosiasi yang berlangsung, kritik tidak lagi berfungsi sebagai alat kontrol sosial, melainkan berubah menjadi komoditas. Aksi tidak lagi bicara kepentingan rakyat, melainkan seberapa besar nilai yang bisa diperoleh jika aksi itu dihentikan.
Dalam logika ini, diam sering kali lebih mahal daripada bersuara, akibatnya, gerakan kehilangan kepercayaan publik. Masyarakat menjadi skeptis karena melihat idealisme begitu mudah dibungkam oleh uang, fasilitas, atau jabatan.
Di tempat saya lahir, yakni Tasikmalaya, praktik semacam ini dikenal dengan istilah ‘digaplehkeun’.
Kondisi serupa juga tampak pada organisasi, jika dulu organisasi menjadi ruang kaderisasi, tempat menanamkan nilai, dan sarana belajar kepemimpinan, kini banyak yang bergeser fungsi. Organisasi tidak lagi sekadar wadah perjuangan, tetapi menjadi kendaraan politik transaksional.
Rapat-rapat lebih sering dipenuhi obrolan tentang proyek, akses, dan relasi dengan pejabat ketimbang strategi advokasi, lebih ironis lagi, jargon reformasi, demokrasi, dan pemberdayaan rakyat dipakai sebagai tameng untuk menutupi praktik rente. Publik pun terkecoh, karena yang tampak di permukaan adalah idealisme, tetapi di balik layar berlangsung transaksi.
Di atas kerap dibungkus dengan istilah halus, atau dalam bahasa yang biasa dikenal disebut ‘aya meureun’, sebuah ungkapan yang sarat makna, bahwa di balik gerakan yang tampak idealis, ada kemungkinan transaksi yang sedang berlangsung.
Kita juga harus jujur mengakui bahwa banyak aktivis muda masuk ke dunia gerakan dengan membawa beban ekonomi, biaya kuliah, kebutuhan hidup, atau sekadar menjaga eksistensi sosial membuat idealisme mereka rapuh.
Situasi ini dimanfaatkan para pemburu rente untuk merekrut, meredam, bahkan mengendalikan orang muda. Aktivisme yang mestinya tumbuh dari nilai perjuangan perlahan bergeser menjadi strategi bertahan hidup.
Maka tidak heran jika gerakan yang lahir dengan lantang, mendadak redup begitu ada tawaran kompensasi, publik pun semakin sulit percaya, sebab aktivisme kehilangan daya dorong moralnya dan organisasi dipandang hanya sebagai arena perebutan sumber daya.
Namun, jalan buntu bukanlah takdir, orang muda hari ini punya modal besar yang tidak dimiliki generasi sebelumnya, teknologi, media sosial membuka ruang bagi siapa saja untuk menyebarkan gagasan tanpa harus bergantung pada elit atau organisasi formal.
Satu cuitan di X, satu unggahan di Instagram, atau satu video di TikTok dapat menggugah kesadaran publik lebih cepat daripada rapat panjang yang rawan transaksi. Di era digital, orang muda tidak lagi sekadar konsumen gagasan, tetapi bisa menjadi produsen sekaligus penggerak perubahan.
Teknologi memberi peluang bagi mereka untuk mengorganisir secara independen, tanpa harus tunduk pada pola rente lama. Pertanyaannya tinggal satu, apakah media sosial akan digunakan sebagai alat perjuangan publik, atau hanya sekadar panggung pencitraan pribadi?
Orang muda sebenarnya punya keuntungan lain, mereka tidak tumbuh dalam trauma politik masa lalu, tidak ada represi yang menakutkan, tidak ada konflik keras yang membelenggu cara pandang. Seharusnya hal ini membuat mereka bisa melihat persoalan lebih jernih dan lebih rasional.
Tetapi kejernihan itu bisa hilang ketika pragmatisme mulai menguasai, godaan untuk naik kelas secara instan sering membuat sebagian memilih jalan pintas.
Banyak contoh memperlihatkan hal itu, aktivis yang dulunya dikenal kritis, mendadak berubah menjadi pengikut setia kekuasaan setelah mendapatkan posisi strategis.
Ujian terbesar orang muda adalah apakah mereka berani menciptakan pola baru yang lebih sehat, atau hanya menjadi replika pemburu rente generasi sebelumnya.
Kita juga harus memahami bahwa pertarungan ini bukan hanya soal individu, melainkan soal kultur politik. Selama budaya transaksional dianggap wajar, siapapun bisa tergoda.
Di titik inilah peran orang muda menjadi krusial, mereka bisa memilih untuk mengulang pola lama dengan alasan semua orang juga begitu, atau memutus rantai dengan menciptakan kultur baru.
Perubahan tidak datang dari mimpi besar semata, tetapi dari keberanian mengambil sikap kecil yang konsisten.
Hari ini, pemburu rente hadir dengan wajah lebih modern, lebih canggih, dan lebih sulit dikenali. Mereka bisa berbicara tentang reformasi, demokrasi, bahkan mengaku memperjuangkan rakyat, namun di balik semua itu, praktik rente tetap berjalan.
Orang muda punya dua pilihan, ikut menjadi bagian dari itu, atau berani menempuh jalan berbeda, organisasi bisa terus dibiarkan menjadi pasar transaksi, atau dipulihkan menjadi ruang kaderisasi sejati.
Media sosial bisa dipakai hanya untuk membangun citra diri, atau menjadi alat untuk membongkar praktik rente.
Sejarah akan mencatat pilihan itu. Jika mereka hanya ikut arus, generasi muda hari ini tidak lebih dari pemburu rente edisi baru.
Tetapi jika mereka berani menjaga idealisme, menolak logika harga diam, dan menggunakan teknologi untuk mengawal kepentingan publik, mereka akan dikenang sebagai generasi yang menyelamatkan demokrasi Indonesia dari jebakan rente.
Pilihan itu ada di tangan mereka, dan masa depan bangsa bergantung pada keputusan kecil yang dibuat hari ini.