Gentra.id – Kekecawaan masyarakat dan mahasiswa terhadap kinerja para elite politik yang buruk membuat aksi unjuk rasa di Kota Tasikmalaya setiap tahunnya meningkat.
Tak hanya itu, cara-cara aparat penegak hukum dalam menangani setiap aksi unjuk rasa kerap menggunakan cara non-persuasif, membuat emosi rakyat mengalami eskalasi
Menurut data unjuk rasa di Kota Tasikmalaya pada tahun 2018-2023 yang diterbitkan Open Data Tasikmalaya, trend aksi unjuk rasa mengalami kenaikan sejak tahun 2022 dan puncaknya pada tahun 2023 ada 103 aksi unjuk rasa.
Banyaknya aksi unjuk rasa ini menandakan sistem dan regulasi di Kota Tasikmalaya tidak berjalan dengan baik.
Seperti demontrasi yang dilakukan sejumlah mahasiswa terkait maraknya kasus intoleransi di kota Tasikmalaya pada Minggu, (17/09/2023).
Mereka menolak pembatalan konser musik Gigi di halaman Parkir Teejay Waterpark Plaza Asia Tasikmalaya karena adanya tekanan dari ormas tertentu.
Batalnya konser musik tersebut, menjadi salah satu bukti lemahnya pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjaga kondusifitas di Kota Santri.
Tak hanya itu, aksi unjuk rasa pun pernah dilakukan puluhan aktivis lingkungan, mereka menuntut Pemerintah kota Tasikmalaya memperhatikan masalah pencemaran sungai, khususnya masalah sampah yang menumpuk di hampir semua aliran sungai di wilayah Kota Tasikmalaya. Baik di sungai Ciwulan, sungai Ciloseh dan aliran sungai lainnya.
Aksi itu dilakukan oleh Fortastai (Forum Tasikmalaya Penyelamatan Sungai Ciwulan) pada Kamis, (27/7/2023). Mereka menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi sungai-sungai di Kota Tasikmalaya yang dipenuhi sampah. Selain itu kondisi bantaran sungai yang dipenuhi bangunan juga menjadi bagian isu yang mereka usung.