Gentra.id – Di tengah tekanan untuk “cepat-cepat sukses” dan “nggak boleh ketinggalan,” banyak anak muda justru memilih hal yang berbeda: berhenti sejenak. Bukan karena malas, tapi karena ingin bernapas. Gen Z kini menjadikan gap year sebagai tren, yaitu masa jeda antara sekolah dan kuliah atau kerja.
Buat sebagian orang tua, gap year masih terdengar aneh. “Ngapain sih setahun nganggur? Takutnya nanti kebablasan,” begitu kira-kira komentarnya. Padahal, di balik keputusan itu, banyak anak muda yang justru menemukan arah hidupnya lewat jeda tersebut.
Berbagai alasan gen z mengapa gap year ini banyak diminati. Setelah 12 tahun penuh tugas, ujian, dan drama sekolah, siapa yang nggak capek? Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan kesadaran mental health lebih tinggi, dan mereka tahu kapan harus berhenti.
Ada yang pakai waktu itu buat healing, ada yang kerja part-time biar tahu rasanya cari uang. Ada juga yang memilih gap year karena belum keterima di jurusan atau kampus impian. Selain itu, banyak yang memanfaatkan waktunya untuk magang di organisasi atau belajar hal-hal baru yang dulu nggak sempat dilakukan waktu sekolah. Intinya, gap year bisa jadi ruang aman buat tumbuh tanpa tekanan nilai atau ranking.
Nggak Malas, Cuma Butuh Napas
Ali, seorang mahasiswa yang sempat gap year dua tahun, mengatakan bahwa gap year bukan sebuah pilihan. Melainkan kondisi yang memberikan ruang untuk menentukan arah antara pendidikan dan karier dengan lebih matang.
“Buat aku, gap year itu bukan berhenti belajar, tapi menata ulang tujuan sebelum melangkah lebih jauh,” katanya.
ia juga bercerita bahwa selama masa gap year, ia memanfaatkan keterampilannya untuk mengeksplorasi minat, sekaligus memahami dunia kerja dan sosial lewat pengalaman di luar lingkungan sekolah.
Tentu saja, ada sisi plus dan minusnya. Poin plus yang dirasakan adalah waktu untuk refleksi diri, mengetahui minat yang sesungguhnya. Mendapatkan pengalaman baru, kesiapan dan motivasi saat masuk kuliah, serta bekal keterampilan baru.
Sementara itu, sisi minusnya adalah risiko kehilangan ritme belajar. Selain itu, tekanan sosial karena teman seangkatan sudah lebih dulu kuliah yang bikin down di awal-awal. Serta rasa khawatir karena masih fokus pada kuliah sementara teman-teman seumurannya sudah menargetkan hal lain dalam hidup.
Belum lagi masalah finansial, karena nggak semua punya privilege buat istirahat tanpa beban biaya. Tapi justru di situlah prosesnya — belajar mandiri, nyari jalan sendiri, dan ngerti bahwa hidup nggak harus sama kayak orang lain.
Bukan Kabur, Tapi Proses Tumbuh
Banyak anak muda yang bilang kalau gap year justru jadi titik balik hidup mereka. Setelah jeda, mereka masuk kuliah dengan motivasi baru, lebih tahu mau jadi apa, bahkan lebih siap menghadapi dunia nyata. Gap year bukan tentang kabur dari tanggung jawab, tapi tentang menyusun ulang arah. Kadang, kita perlu berhenti dulu supaya bisa melihat peta hidup dengan lebih jelas mempersiapkan kemandirian, finansial, mental, dan hal-hal lainnya.