Gentra.id – Akhir-akhir ini, vasektomi kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Bukan karena manfaat medisnya. Pemerintah mewacanakan vasektomi sebagai syarat bagi warga miskin untuk menerima bantuan sosial (bansos).
Wacana ini memicu gelombang kritik dan diskusi luas, baik di kalangan masyarakat sipil, akademisi, hingga netizen. Sebagian menilai kebijakan ini bisa membantu pengendalian penduduk. Namun sebagian besar menyoroti potensi pelanggaran hak asasi dan kebebasan tubuh warga miskin.
Agar tidak terjebak dalam opini yang menyesatkan, mari kita pahami dulu apa itu vasektomi dan latar belakang munculnya isu ini.
Apa Itu Vasektomi?
Vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen untuk pria. Dokter memotong atau menutup saluran sperma (vas deferens) agar sperma tidak keluar saat ejakulasi. Meskipun bersifat permanen, prosedur ini tidak memengaruhi gairah seksual atau kemampuan ereksi. Pria yang tidak ingin memiliki anak lagi sering memilih vasektomi karena prosedur ini efektif dan minim efek samping.
Awal Mula Wacana Vasektomi Jadi Syarat Bansos
Wacana kontroversial ini pertama kali mencuat dari program uji coba di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, pada akhir 2023. Dalam program tersebut, pemerintah daerah bersama BKKBN mencoba meningkatkan partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana (KB) melalui vasektomi.
Narasi bahwa pemerintah akan mensyaratkan vasektomi bagi penerima bantuan sosial memicu kehebohan. Meskipun begitu, pemerintah kemudian mengklarifikasi bahwa program ini bersifat sukarela. Banyak pihak menilai narasi awal tersebut sudah menimbulkan ketakutan dan kesan pemaksaan terhadap masyarakat miskin.
Mengapa Ini Jadi Masalah Besar?
Menghubungkan vasektomi dengan bansos memperlihatkan bahwa tubuh warga miskin bisa menjadi objek kebijakan negara. Ini bukan sekadar soal kontrasepsi, tapi soal kendali atas tubuh. Situasi ketimpangan tidak seharusnya memaksa orang untuk menegosiasikan pilihan hidup mereka.
Kita perlu menyadari bahwa pilihan hidup orang miskin sering kali lahir bukan dari kebebasan, tetapi dari krisis. Mereka tidak selalu punya ruang untuk merencanakan masa depan. Hidup mereka berpindah dari satu keadaan darurat ke keadaan darurat berikutnya. Maka, ketika negara menawarkan bantuan dengan syarat yang menyentuh tubuh dan reproduksi. Itu sama saja mempersempit pilihan yang memang sudah sangat terbatas.
Apakah Banyak Anak Memperparah Kemiskinan?
Jawabannya: ya, dalam konteks struktural. Jeffrey Sachs dalam The End of Poverty menyebut bahwa negara dengan GDP rendah cenderung memiliki tingkat kelahiran tinggi. Ketika keluarga miskin memiliki banyak anak, mereka harus membagi sumber daya yang terbatas ke lebih banyak anggota. Anak-anak kemudian tumbuh tanpa gizi dan pendidikan yang memadai, yang berdampak pada produktivitas ekonomi mereka saat dewasa.
Banyak yang bertanya, “Kenapa orang miskin tetap punya banyak anak?” Padahal secara logika, hal itu justru menambah beban hidup. Jawabannya terletak pada fungsi anak sebagai bagian dari strategi bertahan hidup, bukan sekadar perencanaan masa depan.
Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, anak adalah bagian dari investasi masa depan. Namun bagi keluarga miskin, terutama di pedesaan, anak adalah penopang ekonomi keluarga, tenaga tambahan di ladang, dan harapan ketika tua. Dalam konteks ini, anak bukan sekadar anggota keluarga, melainkan bagian dari sistem bertahan dalam keterbatasan.
James C. Scott dalam Weapons of the Weak menjelaskan bahwa tindakan orang miskin yang tampak “tidak logis” di mata kalangan atas. Orang akan menganggap tindakan itu masuk akal ketika mereka melihatnya dari sudut pandang hidup yang serba terbatas.
Apa yang Perlu Diubah: Jumlah Anak atau Struktur Sosial?
Jawabannya: struktur sosialnya. Jika masyarakat miskin punya banyak anak karena tidak memiliki kontrol atas hidupnya, maka solusi yang tepat bukan memaksakan pengurangan anak. Melainkan memperluas ruang kebebasan dan keamanan sosial.
Amartya Sen dalam Development as Freedom. Menegaskan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal angka makro seperti penurunan fertilitas atau peningkatan GDP. Pembangunan sejati adalah proses memperluas kebebasan manusia untuk hidup layak, memilih, dan mengendalikan masa depan mereka sendiri.
Apa yang Harus Dilakukan Negara?
Negara harus menciptakan kondisi di mana warga miskin bisa mengambil keputusan besar dalam hidup mereka secara sadar dan merdeka. Kebijakan yang menyentuh tubuh warga harus berbasis kesadaran, bukan tekanan. Untuk itu, negara perlu:
- Memastikan akses pendidikan yang berkualitas dan merata
- Menjamin layanan kesehatan yang manusiawi dan terjangkau
- Memberikan perlindungan sosial yang konsisten dan adil
- Menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi yang merata
Masyarakat bisa menjalankan program KB ketika mereka sudah memiliki kebebasan dan rasa aman. Tapi harus berbasis edukasi dan sukarela—bukan kontrol atau syarat bansos.
Dalam dunia yang adil, kebebasan adalah syarat dasar pembangunan, bukan hasil akhirnya. Memberi bansos sambil mengendalikan tubuh penerimanya bukan solusi, tapi ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.