Gentra.id– Bayangkan sedang asyik scroll di ponsel, tiba-tiba muncul keinginan untuk ngemil. Padahal, baru saja makan nasi. Atau, saat menonton film favorit, tangan mulai sibuk mencari cokelat meskipun perut sudah kenyang. Fenomena ini mungkin tidak asing bagi banyak orang. Ada istilah yang cukup unik untuk menggambarkan kondisi ini, yaitu Kuchisabishii. Dalam bahasa Jepang, kata ini merujuk pada kebiasaan makan bukan karena lapar, melainkan karena mulut merasa “kesepian.” Seolah ada dorongan untuk mengunyah sesuatu hanya demi mengisi kekosongan bukan di perut, tetapi mungkin di hati atau pikiran.
Kuchisabishii adalah istilah dari Jepang yang secara harfiah memiliki arti “mulut yang sedang kesepian”. Istilah ini menggambarkan fenomena di mana keinginan untuk makan muncul sebagai respons terhadap kondisi emosional, terutama saat merasa bosan. Ketika orang bosan, stres, atau kesepian, otak mereka mencari cara untuk merasa lebih baik. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan ngemil. Makanan bisa memberikan rasa nyaman dan kepuasan yang sementara, meski nggak mengatasi akar masalah emosi yang mendasarinya.
Menariknya, Kuchisabishii menggambarkan betapa eratnya kaitan antara makanan dan kenyamanan emosional. Seringkali kondisi makan lebih banyak ini hanya untuk menutupi suasana yang buruk. Hal ini menunjukkan bagaimana emosi dapat memengaruhi pola makan, menciptakan kebiasaan.
Mindless Eating
Dalam dunia psikologi, fenomena Kuchisabishii termasuk dalam kategori mindless eating, atau kebiasaan makan tanpa kesadaran penuh. Misalnya, saat ngemil di depan televisi atau sibuk bekerja, otak kita cenderung tidak fokus pada makanan yang masuk ke mulut. Alih-alih menikmati setiap gigitan, kita justru teralihkan oleh aktivitas lain, seperti menonton film atau berbincang dengan teman. Inilah yang membuat mindless eating menjadi kebiasaan yang tidak hanya berdampak pada pola makan. Tetapi juga berpotensi memengaruhi kesehatan jangka panjang.
Namun, dampaknya tidak hanya berhenti di fisik. Secara mental, kebiasaan ini juga dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat dengan makanan. Alih-alih menjadi sumber nutrisi, makanan sering kali menjadi pelarian dari tekanan emosional. Menciptakan lingkaran setan di mana rasa bersalah dan keinginan untuk makan terus berulang. Mengatasi Kuchisabishii membutuhkan perubahan cara pandang terhadap makanan.
Kita dapat menerapkan mindful eating, yaitu kebiasaan makan dengan penuh kesadaran, sebagai salah satu pendekatan untuk mengatasi kuchisabishii. Metode ini mengajak kita untuk benar-benar menikmati setiap aspek dari makanan rasa, aroma, hingga teksturnya. Dengan begitu, kita dapat menciptakan hubungan yang lebih sehat antara makanan dan emosi, sekaligus mengontrol porsi makan dengan lebih baik.
Selain itu, cara sederhana namun efektif lainnya adalah dengan mengurangi visibilitas makanan di sekitar kita. Makanan yang mudah terlihat cenderung memicu keinginan ngemil secara impulsif. Solusinya? Simpan makanan di tempat yang tidak terlihat langsung, seperti di dalam kulkas atau lemari tertutup. Dengan membatasi akses visual, kita dapat mencegah dorongan ngemil yang tidak perlu dan mulai mengontrol pola makan dengan lebih baik.