Gentra.id– Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman. Masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, agama, budaya, dan bahasa, serta menjunjung tinggi ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Namun, sejak era reformasi, bangsa Indonesia menghadapi tantangan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah maraknya politik identitas.
Memahami Politik Identitas
Secara umum, politik identitas merujuk pada praktik politik yang memanfaatkan identitas kelompok. Seperti ras, agama, jenis kelamin, dan orientasi seksual untuk membangun kekuatan politik. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai bagian dari perjuangan kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan. Dalam sejarahnya, manusia selalu terdorong oleh hasrat untuk mendapatkan pengakuan. Namun, keinginan akan pengakuan universal ini sering tergantikan oleh pengakuan parsial berdasarkan kelompok-kelompok tertentu.
Politik Identitas dalam Kontestasi Pemilu
Dalam konteks pemilu, para politisi sering menjadikan politik identitas sebagai jalan pintas untuk meraih suara secara cepat dan murah. Mereka memanfaatkan media sosial sebagai alat strategis untuk menyebarkan narasi identitas, meskipun informasi yang mereka bagikan belum tentu benar. Era post-truth mencampuradukkan antara fakta dan opini. Sehingga menyesatkan publik dan mengaburkan esensi demokrasi yang seharusnya berfokus pada adu gagasan dan program kerja.
Fenomena ini kembali terlihat dalam berbagai kontestasi politik, termasuk Pilpres dan Pilkada. Dedi Mulyadi menegaskan bahwa ia tidak pernah menggunakan isu politik identitas, melainkan justru mengalami sendiri bagaimana praktik tersebut menyerangnya.
“Saya tidak pernah menggunakan isu politik identitas, tapi saya menjadi korban dari kampanye politik identitas,” ucapnya.
Firman, seorang pengamat politik yang mengikuti dinamika pencalonan Dedi Mulyadi, menyoroti bahwa isu terkait dengan identitas Dedi. Seperti keterkaitannya dengan Sunda Wiwitan sempat muncul, namun tidak menjadi isu utama.
“Sebetulnya itu sekarang juga muncul terkait Sunda Wiwitan atau klenik, tapi tidak jadi isu utama. Kenapa? Karena ada pemikiran lain dari pemilih terhadap Dedi Mulyadi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perubahan persepsi publik turut menguatkan posisi politik Dedi.
“Kalau dulu Kang Dedi hanya dikenal sebagai Bupati Purwakarta dua periode ketika isu itu muncul, itu bisa. Kalau sekarang diasosiasikan publik Kang Dedi dekat dengan masyarakat. Perhatian ke masyarakat, itu lebih menempel dibandingkan dengan isu politik identitas,” tambahnya.
Dampak Negatif Politik Identitas
Menurut Mubarok (2018), politik identitas membawa sejumlah konsekuensi negatif bagi kehidupan demokrasi Indonesia, antara lain:
- Diskriminasi terhadap Identitas Lain
Politik identitas cenderung mengecilkan peran kelompok lain. Pengangkatan satu identitas secara berlebihan membuat identitas lain rentan mengalami diskriminasi dan marginalisasi. - Menutupi Program Kerja Berkualitas
Demokrasi seharusnya menjadi ruang bagi adu program dan gagasan. Namun, fokus masyarakat dan media bergeser pada siapa dan dari mana seseorang berasal. - Memecah Belah Persatuan Sosial
Politik identitas menciptakan polarisasi. Pendukung masing-masing identitas merasa kelompoknya paling layak memimpin, dan menganggap kelompok lain sebagai ancaman.
Dampak Psikologis dan Sosial
Siti Kholisoh mencatat bahwa politik identitas berdampak lebih luas dari sekadar politik, yakni merambah ke aspek psikologis dan sosial:
- Polarisasi Sosial
Politik identitas memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang sulit disatukan kembali - Perlakuan Tidak Setara
Pihak mayoritas membatasi ekspresi kelompok minoritas dan mempersulit partisipasi mereka dalam politik karena menganggap mereka bukan bagian dari identitas dominan - Kerentanan Psikologis
Masyarakat menjadi lebih sensitif, mudah tersulut emosi, dan terprovokasi, yang dapat memicu konflik sosial.
Seruan untuk Menolak Politik Identitas
Suara penolakan terhadap politik identitas juga datang dari Alissa Wahid, aktivis sosial dan putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid. Ia mengingatkan generasi muda agar tidak memilih pemimpin yang mengedepankan narasi sektarian.
“Kalau pemilih pemula perhatikan betul calon pemimpinnya, harus yang punya gagasan untuk memajukan Indonesia. Jangan memilih justru calon yang mengedepankan identitas-identitas tertentu, identitas agama atau kesukuan,” katanya.
Alissa menyebut bahwa politik identitas yang marak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Serta Pilpres 2019 telah memberi dampak buruk yang masih terasa hingga kini.
“Setelah itu kita harus naikkan lagi dengan susah payah. Jadi kita juga memperkirakan tahun ini sentimen-sentimen seperti itu juga akan dipakai,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap praktik politik identitas. Berdampingan dengan India dan Amerika Serikat.
“Berdasarkan riset internasional. Indonesia, India, dan Amerika Serikat itu penggunaan sentimen kebencian atas dasar agama itu kuat sekali pada pemilihan presiden,” pungkasnya.
Demokrasi Indonesia saat ini masih bersifat transaksional dan eksklusif. Kita belum sepenuhnya berhasil membangun demokrasi yang transformatif yang mendorong partisipasi aktif, kesetaraan, dan dialog antar identitas.