Gentra.id – Di masa ketika bicara bisa berarti petaka, seorang bangsawan muda dari Blora memilih pena sebagai senjatanya. Namanya Tirto Adhi Soerjo sosok yang hari ini kita kenal sebagai Bapak Pers Nasional. Namun, julukan itu bukan sekadar gelar kehormatan. Ia adalah simbol keberanian seorang jurnalis yang menulis bukan untuk sekadar memberitakan, tapi untuk mengguncang kesadaran.
Pada awal abad ke-20, Tirto mendirikan Medan Prijaji, surat kabar pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bumiputra. Di tengah dominasi media Belanda yang elitis, Medan Prijaji hadir dengan suara lantang menyoroti ketidakadilan kolonial, memperjuangkan hak rakyat, dan memupuk semangat kebangsaan yang waktu itu masih samar.
Tirto tahu, tulisan bisa jadi peluru paling berbahaya bukan karena membunuh, tapi karena membangunkan yang lama tertidur.
Melawan dengan Pikiran
Ketika banyak bangsawan memilih diam, Tirto justru menulis tentang rakyat kecil yang tertindas. Ia memanfaatkan media bukan sekadar sebagai sarana informasi, melainkan alat perlawanan kultural. Ia mengkritik pejabat pribumi yang tunduk pada kolonial, menyinggung aparat yang sewenang-wenang, bahkan mengoreksi sistem yang menindas bangsanya sendiri.
Tulisan-tulisannya tak hanya menimbulkan debat, tapi juga ketakutan bagi pemerintah kolonial. Berkali-kali ia diawasi, diadili, hingga akhirnya dibuang ke Maluku. Namun, dari pengasingan pun, semangat jurnalismenya tak pernah padam. Ia sudah tahu: tubuh bisa dibungkam, tapi ide tidak bisa.
Bagi Tirto, menjadi jurnalis berarti berpihak pada yang lemah, dan keberanian bukan soal menang atau kalah melainkan soal tidak berhenti melawan.
Jejaknya di Tengah Kebisingan Zaman
Lebih dari seabad berlalu, nama Tirto Adhi Soerjo mungkin hanya disebut sekilas di buku pelajaran. Namun, jejaknya justru semakin terasa hari ini di tengah derasnya arus informasi dan kabar palsu yang bercampur dalam satu layar.
Di era digital ini, perlawanan bukan lagi melawan penjajah berseragam, tapi melawan manipulasi, disinformasi, dan ketidakpedulian. Tirto mengajarkan bahwa jurnalisme sejati tak lahir dari kecepatan, tapi dari keberanian menulis yang benar, meski tak populer.
Pers tidak boleh hanya menjadi corong kekuasaan atau sekadar pemburu klik. Ia harus kembali menjadi ruang berpikir, tempat di mana kebenaran berdiri tegak — bahkan ketika semua orang memilih diam.
Warisan yang Tak Selesai
Warisan terbesar Tirto bukan surat kabarnya, bukan pula gelar yang disematkan negara. Warisannya adalah kesadaran bahwa menulis adalah tindakan moral. Dalam setiap kalimat, ada pilihan: berpihak pada yang benar atau pada yang aman.
Bagi generasi muda dan para jurnalis hari ini, semangat Tirto adalah panggilan untuk terus bertanya, menggugat, dan menulis dengan nurani. Dunia mungkin semakin bising dan cepat melupakan, tetapi keberanian akan selalu relevan.
Tirto Adhi Soerjo memang telah pergi, tapi warisannya tak berhenti di halaman sejarah. Ia hidup dalam setiap tulisan yang jujur, dalam setiap suara yang berani melawan arus, dan dalam setiap jurnalis yang masih percaya: kata-kata bisa mengubah dunia.