Gentra.id -Sebanyak 30% kios Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, tutup. Para pedagang yang sebelumnya mengisi kios tersebut sudah tidak lagi berniaga lantaran gulung tikar. Gulung tikar ini merupakan dampak dari perdagangan elektronik atau e-commerce. Mereka kehilangan omzet akibat gagal bersaing ditengah arus digital.
Kondisi ini ditandai dengan banyaknya kios yang akan dijual atau dikontrakan, terutama di blok A3, B2 dan C2 Pasar Cikurubuk. Tiga blok itu merupakan lokasi para penjual pakaian, sepatu, tas dan kebutuhan sandang lainnya.
50 Persen Pedagang Sudah Gulung Tikar
Budiman, salah seorang pedagang sekaligus ketua pedagang blok B2 mengatakan sekitar 50 persen pedagang sudah gulung tikar.
“Banyak yang sudah tutup, hampir 50 persen. Silahkan saja dilihat, banyak kios yang akan dijual atau dikontrakan,” kata Budiman.
Dia mengatakan kondisi ini merupakan dampak dari perubahan perilaku belanja masyarakat yang lebih gemar berbelanja secara online.
“Kalah sama toko online, masyarakat sudah berubah cara belanjanya. Lebih mudah, walau pun kadang mereka gagal karena tak cocok ukuran atau tak sesuai foto,” kata Budiman.
Selain itu, dia mengaku kalah bersaing dalam harga jual. Menurut Budiman,para pedagang pasar atau pedagang eceran sudah tergilas oleh model penjualan online. Perdagangan online menurut dia membuat konsumen bisa langsung membeli produsen.
“Bagaimana mau bersaing, para pemain toko online itu kan produsen langsung menjual ke konsumen. Jadi tangan kedua, atau tangan ketiga seperti kami tergilas,” kata pedagang dan tas itu.
Dia mencontohkan sepatu sekolah anak yang dia banderol Rp 125 ribu, di toko online ditawarkan dengan harga Rp 90 ribu.
“Padahal saya beli dari grosirnya saja Rp 100 ribu. Jadi bagaimana bisa saya harus menyaingi harga Rp 90 ribu,” kata Budiman.
Budiman yang sudah berjualan di Pasar Cikurubuk sejak tahun 1995 ini, menegaskan situasi yang dihadapinya sekarang sudah dalam kondisi kritis. Sangat kontras jika dibandingkan dengan omzetnya belasan tahun yang lalu. Saat ini, tidak mendapatkan konsumen selama seminggu bukanlah sesuatu hal yang baru lagi.
“Kalau satu atau dua hari “diherang” (tak ada yang beli) itu bagi kami tak seberapa, tapi sekarang ada kalanya satu minggu tak ada penjualan sama sekali,” kata Budiman.
Dia menambahkan saat ini Tengah menantikan program pelatihan digital marketing yang kabarnaya akan diselenggarakan oleh UPT Pasar Cikurubuk.
“Bukannya tak ingin mencoba masuk ke pasar online, tapi kan tidak mudah, belum tahu ilmunya. Katanya UPT mau ada pelatihan, tapi samapai sekarang belum ada kabar lagi,” ucap Budiman.
Sementara itu, hal serupa juga dialami oleh yuni. Dia menilai penjualan melalui medsos terutama Tiktok merugikan pedagang konvensional karena harga produk yang dijual sangat murah dan tidak bisa dikuti pedagang pasar. Misalnya untuk harga sepatu di pasar tradisional dibanderol Rp150.000, namun di media sosial dijual dengan harga Rp100.000.
“Produk sepatu yang dijual di aplikasi Tiktok saya beli sudah Rp120 ribu dan persaingan ini makin dirasakan hingga banyak pemilik kios yang memilih tutup karena sepi transaksi penjualan. Akan tetapi, untuk usaha pakaian masih tetap bertahan. Ada beberapa pembeli yang membeli pakaian ke kios,” katanya
Kepala UPT Cikurubuk Menerima Keluhan Pedagang Hampir Setiap Hari
Kepala UPT Pasar Cikurubuk Deri Herlisana membenarkan keluhan para pedagang kebutuhan sandang tersebut. Dia mengaku hampir setiap hari menerima keluhan dari para pedagang tersebut.
“Bukan sering lagi menerima keluhan pedagang, hampir setiap hari,” kata Deri.
Deri membenarkan bahwa perdagangan elektronik membuat omzet pedagang sandang di Pasar Cikurubuk turun drastis. Ironisnya konsumen juga tersedot oleh toko besar dan toko grosir yang berjualan eceran.
“Ya memang e-commerce sangat berpengaruh, kemudian diperparah pula oleh adanya toko grosir besar yang ada di dekat pasar yang ikut-ikutan main eceran, padahal banyak pedagang pasar yang beli dari sana,” kata Deri
Deri menuturkan dari 2.700 kios sudah sekitar 30 persen dalam kondisi tutup atau ditinggalkan pedagangnya. Namun terkait kios yang dilabeli dijual atau dikontrakan, menurut Deri secara aturan hal itu tidak diperbolehkan.
“Dari total 2.700 kios sudah sekitar 30 persen tutup. Nah terkait dijual atau disewakan itu sebenarnya tidak boleh karena kios itu milik pemerintah. Tapi memang di kalangan pedagang hal itu sering terjadi, dalihnya yang mereka jual adalah lapaknya,” tutup Deri.