Gentra.id– Bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional pada 25 November 2024. Hari Guru menjadi momen penting untuk mengapresiasi jasa para pendidik yang telah mencetak generasi bangsa. Namun, di balik perayaan ini, muncul pertanyaan besar mengenai sejauh mana pihak terkait telah memenuhi hak-hak guru.
Dalam peringatan Hari Buruh, para buruh turun ke jalan untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka. Begitu pula dengan petani pada Hari Tani, yang menyuarakan aspirasi mereka demi kehidupan yang lebih layak. Namun, pada Hari Guru, suara kritis seperti itu jarang terdengar lantang. Padahal, guru sebagai pilar pendidikan dan masa depan bangsa juga menghadapi banyak tantangan.
Guru honorer masih berjuang mendapatkan pengakuan dan kesejahteraan yang layak. Banyak dari mereka yang mengabdi dengan gaji di bawah standar, tanpa jaminan kesehatan, dan status kerja yang belum pasti.
Di sisi lain, kurikulum yang terus berubah. Tuntutan digitalisasi, dan minimnya fasilitas di sekolah, khususnya di daerah terpencil, menambah beban kerja guru. Semua ini memunculkan pertanyaan yang relevan: Apakah kita sudah benar-benar menghargai guru dengan memenuhi kebutuhan mereka?
Kriminalisasi Guru: Ketika Disiplin Malah Berujung Gugatan
Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan. Pihak berwenang menetapkan Supriyani sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap siswanya. D (6), yang merupakan anak anggota Polsek Baito.
Beberapa kali pihak sekolah mencoba melakukan mediasi untuk menyelesaikan masalah ini, namun mereka gagal mencapai kesepakatan. Keluarga siswa tetap bersikeras melaporkan hingga akhirnya hukum menjerat Supriyani.
Pengadilan akhirnya menyatakan Supriyani tidak bersalah. Hakim membebaskannya dari segala tuduhan dan meminta pihak terkait segera memulihkan hak-haknya sebagai guru.
Dalam sidang putusan, hakim menyatakan bahwa bukti yang mendukung tuduhan terhadap Supriyani tidak cukup. Oleh karena itu, hakim membebaskannya dari semua dakwaan. Selain itu, hakim juga menegaskan pentingnya mengembalikan kedudukan, harkat, dan martabat Supriyani sebagai pendidik.
Konflik antara orang tua murid dan guru seperti ini bukanlah hal baru di Indonesia. Berikut tiga kasus serupa dari berbagai daerah yang menggambarkan rentannya hubungan antara pendidik dan wali murid.
- Wali murid di NTB menombak guru karena guru tersebut menegur siswa yang bising
Seorang guru SD Negeri Inpres Rade, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. IS (58), menjadi korban penyerangan oleh AA (41), orang tua salah satu siswa, pada Rabu, 2 Desember 2015. AA diduga menyerang IS dengan tombak setelah anaknya melaporkan bahwa dirinya telah dimarahi oleh guru tersebut.
Insiden bermula sekitar pukul 08.30, saat MI (5), anak AA, membuat kebisingan di kelas yang mengganggu proses belajar. IS menegur MI dengan cara membentak, membuat anak itu menangis dan meninggalkan ruang kelas. Tanpa sepengetahuan IS, MI pulang ke rumah dan melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya.
Tak lama setelah itu, AA datang ke sekolah membawa tombak. Ia mencari IS dan sempat terlibat adu mulut di halaman sekolah. Meskipun IS berusaha menghindari konflik dengan meninggalkan lokasi, AA yang sudah tersulut emosi melempar tombak ke arah IS. Senjata itu mengenai punggung kiri IS, membuatnya tersungkur dan terluka serius.
Petugas Kepolisian Sektor Madapangga dan Babinsa segera menjemput AA untuk mengamankan situasi. Kasus ini menambah daftar panjang konflik antara orang tua siswa dan guru di Indonesia, yang sering kali berujung pada kekerasan.
2. Orang tua dan murid menganiaya guru di Makassar setelah insiden pemukulan
Insiden kekerasan terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Makassar pada tahun 2016. Ketika seorang guru, Dasrul, menjadi korban penganiayaan oleh Adnan Achmad (43), orang tua siswa, bersama anaknya, MAS (15). Dasrul memicu kekerasan ini dengan menegur MAS saat pelajaran berlangsung.
Peristiwa bermula ketika MAS mengikuti pelajaran gambar teknik tanpa membawa alat gambar. Ia meminta izin keluar kelas untuk mencari alat tersebut, namun kembali tanpa hasil. Dasrul, yang merasa terganggu, menegur MAS dengan tegas dan memukulnya di bagian wajah. Akibat pukulan tersebut, MAS mengalami memar di pipi kiri dan batang hidungnya.
Setelah kejadian itu, MAS menghubungi ayahnya dan melaporkan apa yang terjadi. Mendengar kabar tersebut, Adnan langsung mendatangi sekolah. Saat bertemu dengan Dasrul di halaman sekolah, Adnan meminta penjelasan atas tindakan gurunya. Adnan menganggap respons Dasrul kurang baik, sehingga ia langsung melayangkan tinju ke wajah guru tersebut.
Dasrul mengalami luka di hidung akibat pukulan tersebut, sementara MAS juga turut memukul gurunya. “Saya hanya bereaksi spontan karena emosi,” ujar Adnan.
3. Orang tua siswa di Bengkulu menyerang guru dengan ketapel hingga menyebabkan kebutaan permanen.
Seorang guru olahraga di SMAN 7 Rejang Lebong, Zaharman (58). Orang tua salah satu siswanya menyerang Zaharman dengan ketapel, yang menyebabkan Zaharman mengalami kebutaan permanen. Insiden ini terjadi pada Selasa, 1 Agustus 2023, ketika Zaharman menegur seorang siswa yang kedapatan merokok di kantin sekolah.
Peristiwa bermula ketika Zaharman melihat siswanya merokok saat jam pelajaran. Zaharman langsung menegur siswa tersebut, namun siswa itu mengabaikan tegurannya. Zaharman merasa tidak dihormati, sehingga ia pun mengeluarkan emosinya dan menendang siswa itu hingga mengenai wajahnya.
Siswa yang tidak terima dengan perlakuan gurunya kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada ayahnya, Arpanjaya (45). Mendengar pengaduan anaknya, Arpanjaya terbawa emosi dan mendatangi sekolah sambil membawa ketapel. Saat bertemu Zaharman, Arpanjaya langsung menyerang mata guru tersebut dengan ketapelnya. Serangan itu mengakibatkan kebutaan permanen.
Kasus ini memicu perhatian luas, menyoroti pentingnya penyelesaian konflik antara guru, siswa, dan orang tua secara bijaksana tanpa kekerasan. Zaharman kini menjalani pemulihan sembari menunggu proses hukum terhadap pelaku penyerangan.
Hari Guru bukan hanya tentang perayaan dan penghargaan simbolis, tetapi juga refleksi bersama. Jika buruh dan petani bisa bersuara untuk hak mereka, apakah kini saatnya guru juga lebih lantang menyuarakan aspirasinya? Mari jadikan Hari Guru ini momen untuk tidak hanya berterima kasih, tetapi juga memastikan mereka mendapatkan hak yang sepantasnya. “Karena tanpa guru, mimpi besar bangsa ini tak akan pernah terwujud.”