Gentra.id– Menjelang Pilkada yang akan dilaksanakan serentak pada 27 November mendatang di Tasikmalaya, suasana politik semakin tegang dengan meningkatnya kekhawatiran akan potensi konflik berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Isu-isu sensitif ini dapat memicu ketegangan di tengah masyarakat yang plural. Di satu sisi, Pilkada seharusnya menjadi momentum demokrasi yang sehat dan inklusif, namun tantangan besar justru muncul dari risiko politisasi identitas. Bagaimana para kandidat dan masyarakat mampu menjaga kedamaian sosial sambil mempertahankan demokrasi lokal yang sehat menjadi pertanyaan yang penting untuk dijawab.
Berdasarkan laporan Bawaslu Jawa Barat, Tasikmalaya masuk peringkat tujuh daerah rawan penyebaran hoaks dan isu SARA di Jawa Barat menjelang Pemilu 2024. Seiring semakin mendekatnya pesta demokrasi, kekhawatiran muncul bahwa narasi palsu dan provokasi berbasis SARA dapat mempengaruhi stabilitas masyarakat. Di era digital yang semakin canggih dan cepat, hoaks menjadi ancaman serius yang dapat memecah belah persatuan. Tantangan bagi pemerintah dan masyarakat adalah bagaimana mengedukasi publik serta mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan. Serta memberikan bekal bagaimana Masyarakat dapat memilah informasi berita anatara yang benar dan hoax.
Delapan daerah yang dinilai rawan terjadinya konflik SARA di wilayah Jabar ini meliputi Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Bandung Barat.
Di tengah masa kampanye Pilkada 2024 di Kota Tasikmalaya, isu SARA kembali mencuat setelah munculnya aksi penolakan oleh masyarakat setempat terhadap pembangunan rumah duka di belakang RS TMC pada 30 September 2024. Kejadian ini menjadi moment yang memperkeruh suasana politik, di mana sentimen berbasis agama dan identitas kian muncul ke publik. Kejadian ini tak hanya menambah ketegangan politik lokal, tetapi juga mengancam kesatuan di masyarakat.
Isu SARA sering dijadikan alat politisasi ditengah moment pilkada untuk menarik dukungan kelompok tertentu dan masyarakat banyak. Namun, kadang tidak kita sadari politisasi ini memberikan dampa yang bisa berbahaya, karena mengancam perdamaian dan kerukunan di masyarakat.
Mirisnya, efek jangka panjang dari politisasi ini jika terus dilakukan akan dimanfaatkan oleh oknum politisi melalui isu SARA yang dapat memicu ketidakstabilan dan kenetralan dari politik. Masayarakat yang termakan oleh sistem politisi ini akan otomatis terpecah belah dan akan sulit untuk mempersatukannya kembali karena sudah ada kebencian dan hilangnya rasa persatuan dalam dirinya bahkan setelah masa pemilihan berkahir. Kondisi ini tentunya hal yang tidak bisa disepelekan karena akan berdampak pada Pembangunan bangsa dan keberlanjuta demokrasi di Indonesia.
Mencegah politisi SARA ini terus berlanjut, peran stakholder sangat dibutuhkan dalam Pendidikan politik. Dalam hal ini, kesadaran masyarakat dan peran media dibutuhkan dalm menanggulangi konflik SARA. Kesadaran tentang bahaya politisasi identitas harus ditingkatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam agenda politik yang merugikan. Politisasi identitas dapat memecah belah, membuat publik fokus pada perbedaan, bukan visi atau solusi nyata yang diahdirkan dari para calon pemimpin kedepannya. Di sisi lain, media memiliki peran krusial dan strategis dalam memberitakan isu dengan objektivitas, menjaga keseimbangan informasi tanpa memperburuk situasi. Pendidikan politik yang baik juga dibutuhkan, sehingga masyarakat lebih cerdas dalam memilih kandidat berdasarkan program, bukan sekadar identitas etnis, agama, atau golongan.