Gentra.id- Spanduk bertuliskan “4 Tahun Ini Janji, Masih Belum Terwujud?!” terbentang di depan Gedung Rektorat Kampus 2 Universitas Siliwangi (Unsil), Rabu (1/10/2025). Kalimat itu menjadi simbol kekecewaan ratusan mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsil dalam aksi bertajuk “Siliwangi Menggugat”. Aksi ini menyuarakan tuntutan terhadap pimpinan universitas. Mempertanyakan komitmen dan kinerja Rektor Nundang Busaeri dalam memenuhi janji-janjinya setelah hampir empat tahun memimpin.
Dalam aksi damai itu, massa menyampaikan sejumlah tuntutan konkret yang tercantum dalam pernyataan sikap.
-
Merealisasikan janji “kampus bahagia”.
-
Mendesak pimpinan universitas untuk menangani secara serius kasus kekerasan verbal dan nonverbal yang diduga melibatkan dosen berinisial BCS.
-
Menyelesaikan kasus intoleransi di lingkungan kampus.
-
Meningkatkan fasilitas kampus.
-
Memperbaiki sistem keamanan kampus.
Khusus untuk kasus kekerasan, mahasiswa mendesak dua hal tegas. Yakni pertama, mendesak pihak kampus untuk menghentikan sementara dosen terduga pelaku dari aktivitas bimbingan dan pembelajaran. Kedua, mereka menuntut Rektor Unsil bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menjatuhkan sanksi administratif berat berupa pemberhentian.
Muhammad Risaldi, selaku Ketua BEM Unsil, memaparkan bahwa tuntutan awal menyangkut kasus kekerasan seksual yang tidak transparan dan belum tuntas. Kemudiankasus kehilangan motor, serta temuan terhadap sejumlah tenaga pendidik yang intoleran terhadap mahasiswa.
“Ada oknum dosen yang melakukan kekerasan secara verbal dan nonverbal, yang sejauh ini tidak ada transparansi dari pihak rektorat. Selain itu, ada satu mahasiswa yang kehilangan motor, dan sampai sejauh ini belum ada respons dari jajaran pimpinan,”ungkapnya.
Menanggapi kasus kekerasan seksual, Nana Sujana, selaku Kepala Biro Keuangan dan Umum, menjelaskan bahwa pihaknya tidak hanya melakukan pemeriksaan internal, tetapi juga melibatkan Inspektur Jenderal Kemendikbudristek. Tim telah memeriksa 22 orang, termasuk ahli dan bukti, serta telah menyampaikan hasil pemeriksaan beserta rekomendasi sanksi berat kepada kementerian.
“Sudah selesai diperiksa, termasuk bukti dan pemeriksaan para ahli. Hasilnya berupa rekomendasi sanksi yang berat,” tegasnya.
Profil dan Janji Sang Rektor
Nundang Busaeri, tokoh yang menjadi pusat gugatan, bukanlah figur baru di Unsil. Sebelum menjabat sebagai Rektor (2022-2026), ia mengawali pengabdiannya sebagai dosen Teknik Elektro, kemudian menduduki posisi Dekan Fakultas Teknik, dan akhirnya Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, membangun jejak karier yang solid
Dalam kampanye pemilihannya, ia mengusung visi ambisius: “Menjadi Perguruan Tinggi Unggul Berjiwa Wirausaha dan Berwawasan Kebangsaan”. Visi ini dijabarkan dalam delapan misi terukur dan progresif, yang kini menjadi parameter penilaian kinerjanya oleh mahasiswa:
- Membangun ekosistem akademik menuju kampus bahagia, menjunjung tinggi kebinekaan dan toleransi antaragama.
- Mengembangkan pendidikan yang memanfaatkan teknologi maju untuk menghasilkan lulusan tangguh, mandiri, dan bertanggung jawab.
- Mengembangkan penelitian kolaboratif inovatif untuk menunjang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya yang berdaya saing global.
- Mengembangkan pengabdian kepada masyarakat sebagai wahana implementasi penelitian untuk menumbuhkan kewirausahaan dalam mendukung ketahanan ekonomi nasional.
- Menyediakan sistem pelayanan akademik dan non-akademik yang transparan, akuntabel, dan kredibel untuk menghasilkan lulusan berdaya saing global.
- Meningkatkan dan mengembangkan harmonisasi kerja sama skala nasional dan internasional yang berkualitas untuk meningkatkan daya saing institusi menuju *world class university* (WCU).
- Meningkatkan fasilitas terbaik untuk mendukung kegiatan kemahasiswaan menuju mahasiswa yang kompetitif di bidang kesenian, kemanusiaan, olahraga, keteknikan, dan keagamaan.
- Mewujudkan Universitas Siliwangi sebagai perguruan tinggi yang mendukung program Green Campus.
Setelah empat periode kepemimpinan, kinerja nyatanya menguji semua janji yang pernah diucapkan. Berikut titik-titik kritis yang menjadi sorotan:
Kampus Bahagia vs. Lingkungan yang Tidak Aman
Misi pertama tentang “kampus bahagia” yang menjunjung tinggi toleransi berhadapan dengan dua kasus besar yang justru menciptakan trauma dan ketidaknyamanan.
Rektor Unsil, Nundang Busaeri, menanggapi konsep kampus bahagia dengan menyatakan bahwa Unsil ingin unggul dalam semua aspek dan telah mencapainya dalam akreditasi institusi. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan kualifikasi dosen.
“Inginnya, kita semua aspek itu unggul. Untuk akreditasi institusi, kita sudah unggul. Setiap tahun Unsil mengirimkan dosen untuk meningkatkan kualifikasi,”ungkapnya.
Sebaliknya, Risaldi menilai implementasi “kampus bahagia” bersifat utopis dan jauh dari kenyataan.
“Sangat disayangkan, implementasi kampus bahagia masih jauh dari kata maksimal, bahkan tidak menyentuh akar rumput. Ini perlu kita evaluasi total,”jelasnya.
Menyoroti Kasus Kekerasan
Kasus 2023:Terkuaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa pertukaran pelajar dari Jerman. Kasus yang terungkap berkat bukti CCTV dan laporan pada 30 Januari 2023 itu sempat mencoreng nama kampus.
Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unsil, Gumilar Mulia, mengonfirmasi bahwa sejumlah laporan korban membenarkan adanya perbuatan terduga pelaku berinisial EDH yang mengarah pada tindakan asusila terhadap sejumlah mahasiswi. “Memang benar ada indikasi terjadinya kekerasan seksual. Satgas sudah bergerak dan menampung korban,” katanya.
Laporan resmi tidak hanya berasal dari korban, tetapi juga didukung bukti rekaman CCTV yang jelas, sehingga kasusnya terus diproses oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). “Laporan secara resmi sudah dari satgas dan kementerian. Korban lebih dari satu orang,”tambahnya.
Kasus 2025 (BCS): Seorang dosen kembali diduga melakukan kekerasan verbal dan nonverbal terhadap lebih dari 21 mahasiswa Program Studi Ilmu Politik. Padahal, pihak kampus telah menerima laporan pertama sejak 7 Juni 2024. Namun, hingga aksi berlangsung, proses penyelesaiannya masih menunggu kehadiran satu perwakilan kementerian untuk mencapai keputusan final.
“Kalau data dari tim Satgas PPKPT yang speak up dan dibuatkan berita acara sampai ke psikolog, semuanya sudah lebih dari dua puluh satu orang. Artinya, korban berasal dari orang yang berbeda-beda, bukan satu orang. Dari sisi itu sudah cukup untuk menjerat pelanggaran,” ungkap Gumilar.
Gumilar menambahkan, rektor telah membentuk tim pemeriksa gabungan yang terdiri atas unsur strategis kampus. Namun, mereka belum dapat memulai pemeriksaan karena masih menunggu kehadiran satu perwakilan dari kementerian.
“Karena situasi dan kondisi, Pak Rektor merasa supaya lebih objektif tetap meminta pendampingan dari kementerian. Kami tidak punya ahli hukum dan takut salah melangkah,” jelasnya.
Rangkaian kasus dan lambannya penanganan mulai menggerus kredibilitas janji “pelayanan yang transparan dan akuntabel”. Mahasiswa mempertanyakan komitmen pimpinan dalam menegakkan aturan, terutama ketika yang terlibat adalah orang dalam (dosen). Desakan untuk menjatuhkan sanksi tegas bukan hanya tentang satu kasus, tetapi tentang konsistensi dalam menegakkan tata kelola kampus yang baik.
Fasilitas dan Sistem Keamanan yang Minim
Tuntutan mahasiswa akan fasilitas yang memadai dan sistem keamanan yang lebih baik secara langsung menampar Misi ke-7 Nundang, yang secara eksplisit menjanjikan “peningkatan fasilitas terbaik”. Mahasiswa menyoroti ketidakcukupan fasilitas pendukung akademik dan kesejahteraan, serta kerentanan sistem keamanan kampus. Hal ini tercermin dari fasilitas kelas yang terbatas, belum adanya regulasi jelas untuk kawasan tanpa asap rokok, minimnya ruang publik untuk diskusi, serta fasilitas WiFi dan AC yang belum memadai. Di sisi keamanan, kasus kehilangan helm dan motor sudah menjadi hal lumrah, tanpa penanganan yang jelas, meskipun telah ada pemasangan CCTV dan penempatan satpam di beberapa titik.
Keluhan kemudian muncul dari seorang mahasiswa yang menyoroti kualitas lulusan Unsil. Ia menilai, minimnya fasilitas mendorong banyak mahasiswa tingkat akhir untuk berkuliah secara daring. Sebagai rektor, Nundang menegaskan harapannya agar semua lulusan Unsil berkualitas, terlebih dengan kurikulum baru Outcome Based Education (OBE).
“Dengan kurikulum OBE, mahasiswa relatif lebih kompeten karena menguasai bidangnya masing-masing,” jelasnya.
Rektor juga mengakui keterbatasan dana sebagai alasan utama kurangnya fasilitas kelas.
“Kembali lagi karena keterbatasan dana. Adapun penambahan jumlah mahasiswa setiap tahunnya karena rasio dosennya terpenuhi,” tambahnya.
Gugatan yang Menandai Titik Balik
Aksi “Siliwangi Menggugat” lebih dari sekadar unjuk rasa biasa; ia adalah bentuk evaluasi publik terhadap sebuah kepemimpinan. Kini, visi-misi yang dahulu mereka gaungkan justru mengoyak jarak antara retorika dan realita. Berbagai kasus kekerasan, fasilitas yang minim, dan praktik ketertutupan telah menciptakan narasi yang bertolak belakang dengan impian “kampus bahagia”.
Titik berat kini berada di pundak Rektor Nundang Busaeri. Apakah ia akan merespons gugatan ini dengan langkah-langkah korektif yang konkret, transparan, dan memulihkan kepercayaan, atau membiarkan janji-janjinya hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah kepemimpinannya?